journal of a learner

one effort to write. one effort to be a lifelong learner

Friday, April 20, 2012

Halo apa kabar?

Waaaaah…. Blog ini gak butuh kemoceng, sapu, atau bahkan lap pel untuk jadi bersih. Blog ini butuh kape! Haha… mau sih gonta ganti theme, tapi kayaknya belum bisa disempatkan. Mana sampe ganti tampilan gini Bloggernya, hihihi... Yah, karena komen jeng ini lah saya jadi semangat nulis lagi. Karena komen itu membawa saya pada blognya yang ternyata…sudah mulai diisi lagi setelah beberapa lama terbengkalai. Jeh, senang yah punya teman yang bisa saling menyemangati. Terima kasih ya ummu dihaan sayang… Time does fly. Sekarang saya sudah jadi ibu. Percaya ga? Keseharian ya disibukkan dengan sang bayi lucu yang tiap harinya memberi kejutan. Jadi kalau ada yang mau tau bagaimana kabar saya (emang ada?), jelas kabar saya baik. Even super! Subhanallah, walhamdulillah, Allahu akbar! *brasa di musholla kampus* Oke, sekarang saya coba menulis lagi. Meski bikin buku bukan resolusi saya tahun ini *melirik suami*, tapi rasanya sayang banget kalau saya terlalu lama jauh dari aktivitas menulis. Apalagi saya mau juga menulis untuk kepentingan komersil *melirik suami lagi*. Sudah dimulai dengan dimuatnya tulisan saya di salah satu majalah yang berkantor di Jakarta, dan harusnya saya berbuat lebih baik di masa datang. Sementara ini dulu yang saya tulis. Semoga yang berikutnya lebih bermanfaat. Salam :)

Monday, February 07, 2011

Menghilangkan Bekas Jerawat dengan Cara Tradisional

Berlatar belakang problem yang saya alami berupa bekas-bekas jerawat yang bikin geregetan (geregetan..jadinya geregetan..apa yang harus kulakukan..*halah malah nyanyi*), saya coba menelusuri mesin pencari Google nan sakti itu untuk menemukan cara-cara tradisional untuk menghilangkan bekas jerawat. Setelah saya kumpulkan, saya seleksi karena tak semua cara baik untuk dipraktekkan. Misalnya penggunaan bawang putih. Bawang putih bersifat panas dan dapat meninggalkan noda hitam di kulit. Kalau anda masih mau mencoba cara itu, coba dulu pada kulit badan anda. Jika meninggalkan noda kehitaman, lebih baik tak usah diteruskan. Noda itu sulit hilangnya, gawat kan kalau ada di wajah? ;) Nah, hasil seleksi itu saya unggah di sini, siapa tau ada di antara teman-teman yang membutuhkannya. Saya baru akan mencoba cara-cara ini, jadi jangan tanya hasilnya pada saya ya..Semoga bermanfaat.

1. Jus Lemon. Peras lemon, oleskan di wajah 2x sehari. Minum jus lemon sehari sekali. (versi Media Indonesia: Jus lemon atau limau segar. Oleskan jus segar tersebut secara langsung ke area bekas jerawat dengan menggunakan kapas. Biarkan beberapa saat hingga meresap, selanjutnya bersihkan dengan air. Lemon berfungsi menyamarkan bekas jerawat yang berwarna kehitaman.)


2. Lidah Buaya. Ambil jel nya dan oleskan di wajah. Buat jus dan minum sehari sekali.
3. Madu. Campur madu dan susu, lalu oleskan di wajah dua kali sehari.
4. Untuk pengobatan dari dalam perbanyak minum jus tomat,wortel,strawberry + brokoli (di-mix)
5. Belimbing wuluh yang ditumbuk sampai halus seperti bubur lalu dicampur air garam secukupnya, Lulur ini juga berfungsi sebagai astringen yang akan membantu memperkecil pori-pori yang terbuka terlalu lebar.
6. Cuci dengan air kelapa tua. Setelah kering sendiri, bilas dengan air bersih.
7. Air kelapa dicampur dengan parutan kunyit kemudian rendam selama tiga malam. Setelah direndam, saring rendaman tersebut untuk mendapatkan airnya. Campuran air tersebut bisa digunakan untuk membantu menghilangkan jerawat dan juga bekas jerawat yang membandel.
8. Pepaya yang sudah dihaluskan bisa dioleskan pada wajah. Biarkan masker mengering selama 15 sampai 20 menit, kemudian dicuci dengan air bersih. Masker pepaya ini bisa membuka pori-pori kulit yang menyumbat dan menghilangkan minyak, serta sel-sel kulit mati dari kulit.
9. Masker timun untuk menghilangkan bekas jerawat di wajah (lakukan setiap hari)
10. Air beras, selain berkhasiat untuk menghilangkan bekas jerawat, juga berkhasiat untuk menghaluskan kulit. Basuh muka dengan air basuhan beras. Setelah kering, cuci dengan air bersih. (lakukan setiap hari)
11. Air dari parutan ubi kayu juga sangat berkhasiat untuk menghilangkan bekas jerawat (Lakukan setiap hari selama seminggu.)
12. Es Batu: Usapkan es ke permukaan wajah untuk merapatkan pori-pori sehingga pertikel-partikel luar penyebab jerawat tidak masuk ke dalam kulit.
13. Irisan Tomat: Mengusapkan irisan tomat pada luka bekas jerawat terbukti dapat menghilangkan noda yang mengganggu. Gosok2kan tomat atau timun lalu biarkan selama 15 menit lalu bilas dengan air bersih. Tomat tidak hanya mengecilkan pori-pori tapi juga menghilangkan komedo dan cocok untuk pengobatan kulit berminyak.



14. Kunyit: Di belahan dunia timur kunyit telah beribu-ribu tahun dikenal sebagai produk kecantikan. Salah satu khasiatnya adalah mengurangi luka bekas jerawat (pupurkan parutannya).
15. Minyak Zaitun: Selain membuat masakan lezat, minyak zaitun juga bisa menghilangkan noda jerawat. Pijat dengan lembut wajah Anda dengan minyak jerawat terutama di bagian yang terdapat noda jerawat.
16. Pasta campuran kayu cendana dan beberapa tetes air mawar. Campuran ini bisa digunakan sebagai facial mask atau dioleskan secara langsung ke area bekas luka selama lebih dari 1 jam. Ada baiknya dipakai pada malam hari. Selanjutnya bersihkan dengan air. Cara ini efektif menyamarkan dan menghilangkan bekas jerawat. (versi lain: oleskan campuran bubuk kayu cendana dan air mawar pada bekas jerawat sebelum tidur dan gunakan semalaman lalu bilas dengan air dingin di pagi hari. Tapi jika kulit menjadi kering, cobalah ditambahkan susu dalam ramuan bubuk cendana itu dan gunakan hanya beberapa jam saja, tak perlu semalaman.)
17. Oleskan bubuk kayu cendana yang dibuat pasta pada bekas jerawat sebelum tidur dan gunakan semalaman, lalu bilas dengan air dingin di pagi hari.
18. Masker campuran. Campurkan 1 sendok makan krim asam, 1 sendok makan yogurt, satu sendok makan oatmeal, dan beberapa tetes jus lemon. Selanjutnya balurkan campuran ini ke area bekas jerawat. Biarkan selama 10 menit, kemudian cucilah hingga bersih.
19. Masker tomat dan ketimun. Kombinasi kedua bahan ini dinyatakan sangat efektif menyamarkan bekas jerawat. Selain itu, masker campuran tomat dan ketimun juga bisa mengencangkan pori-pori kulit, sehingga kulit tampak lebih menarik.
20. Minyak lavender. Gosokkan minyak lavender ke area bekas jerawat paling tidak 2 kali sehari. Cara ini dinyatakan efektif menyamarkan bekas jerawat.
21. Putih telur. Ini merupakan salah satu cara paling murah untuk menghilangkan bekas jerawat. Oleskan putih telur ke bekas jerawat dengan menggunakan kapas dan biarkan sepanjang malam. Cara ini selain mencegah munculnya jerawat juga efektif mengatasi bekas jerawat.
22. Jus ketumbar dan tepung kunyit. Campurkan satu sendok teh jus ketumbar dengan sedikit tepung kunyit kemudian balurkan ke area yang terinfeksi. Cara alami ini dinyatakan efektif menghilangkan bekas jerawat.
23. Gunakan madu yang telah dipanaskan sebelumnya. Lalu oleskan ke flek saat masih hangat. Diamkan sekitar 10 menit. Lakukan setiap hari sampai flek benar-benar hilang.
24. Menguapkan wajah: Campurkan mawar dan perasan jeruk lemon pada wadah yang telah berisi air panas, lalu letakkan wajah di atas wadah. Diamkan tiga hingga lima menit, lalu bilas wajah dengan air dingin untuk menutup kembali pori-pori. Air mawar dan lemon dipercaya dapat memudarkan bekas jerawat sekaligus mencerahkan kulit wajah.
25. Pilih minyak vitamin E, lalu terapkan pada daerah bekas jerawat. Lakukan perawatan ini pada malam hari dan diamkan semalaman. Esok paginya, cuci wajah dengan air hangat. (disarankan oleh dermatologist)
26. Putih telur + 1 sendok tepung jagung + minyak zaitun. Ketiganya, aduk secara rata. Gunakan sebagai masker.


27. Tumbuk beberapa batang kulit kayu manis dan jadikan serbuk. Campurkan dengan sedikit air. Sapukan pada bekas jerawat. Lakukan selama seminggu.

Demikian bahan yang dapat saya kumpulkan. Mohon maaf belum mencantumkan sumber-sumber informasinya. Tapi rata-rata bahan tersebut dipublikasi di banyak tempat, jadi saya anggap sudah milik publik. Oke deh..Selamat mencoba! :)

Thursday, December 23, 2010

Piring Indo vs Piring Cina

Ini pengalaman pribadi yaa..
Waktu saya nikah, banyak sekali yang menghadiahi saya sprei. Yah, hadiah standar orang menikah mungkin ya, praktis dan hampir pasti bermanfaat. Ini memberi saya pelajaran untuk tidak menghadiahi sprei pada teman yang menikah, kecuali sprei dengan bedcover yang dibeli dalam rangka patungan. Anyway, begitu banyaknya yang menghadiahi saya sprei, tapi tidak ada yang menghadiahi saya piring! Ada sih yang memberi set cangkir berikut piring kecilnya (saucer), tapi tetap aja gak bisa dipakai untuk makan. Jadi, dua hari setelah nikah dan kami sudah menempati rumah kontrakan (di pekarangan belakang rumah ortu), saat hari masih pagi dan saya sedang berusaha menghabiskan bubur ayam di warung kopi, suami menyetop tukang perabot yang keliling dengan mobil pick-up. Piring, mangkok, gelas, sendok, mmm… apalagi ya? Ember, kemoceng, bak air, keranjang, suami bertanya apakah ada yang kurang. Selesai sarapan di warung kopi kami pun menggotong-gotong perabot ke rumah kami. Itulah penanda kedua bahwa kami pengantin baru, penanda bagi para tetangga. Penanda pertamanya adalah, suka bergandengan tangan. Aduh, mulai ngelantur.

Waktu itu, karena saya belum tune-in banget bahwa saya sedang membangun rumah tangga baru, dan karena kami masih akan tinggal terpisah selama beberapa bulan, saya belum dapat mengira-ngira berapa jumlah piring-gelas-mangkok yang saya butuhkan. Tempat untuk menyimpannya saja belum ada. Makan masih sering di luar karena belum punya alat masak. Kami juga belum bicara masalah detail keuangan sehingga saya belum dapat mereka-reka kemampuan finansial suami saat itu, apalagi pengeluaran besar-bagi masing-masing kami-baru saja terjadi. Jadilah saya hanya membeli tiga buah piring dan tiga buah gelas, mangkok nanti dulu lah…

Di kemudian hari, saat saya mulai sedikit-sedikit memasak untuk suami, saya menyadari piring tiga buah sama sekali tidak cukup. Piring-piring milik orang tua pun jadi korban peminjaman. Maka saat belanja bulanan berikutnya, saya membeli lagi tiga buah piring. Dan kali itu, saya juga membeli mangkok.

gambar diambil dari sini

Piring yang saya beli kali pertama, bertuliskan made in China, kita sebut saja piring China. Piring yang saya beli kali kedua, bertuliskan made in Indonesia, kita sebut saja piring Indo. Setelah enam bulan menikah, saya mendapat pengalaman bersama piring-piring ini. Piring Indo, lebih mudah dibersihkan tinimbang piring China. Kalau kita makan nasi tanpa sayur berkuah di satu piring, kering gitu, biasanya bekas nasinya akan mengering di permukaan piring. Jika tidak langsung dicuci, bekas nasi itu akan makin mengeras dan sulit dibersihkan. Berdasar pengamatan saya, hal itu tidak terjadi pada piring Indo. Cukup saya basuh dulu sebelum saya usap dengan spons bersabun, bekas nasi itu langsung lenyap. Sebaliknya, pada piring China, bekas nasi itu harus saya gosok-gosok beberapa kali baru dia meluruh.

Piring Indo, tidak mudah pecah. Biasanya kalau saya memasak, satu kompor saya gunakan untuk menggoreng dan kompor satunya saya pakai untuk memasak sayur. Berhubung saya belum punya alat peniris minyak, saya mengangkat gorengan menggunakan piring beralas kertas koran. Kalau sedang terburu-buru, setelah mengangkat gorengan ke piring dan memasukkan bahan gorengan sesi berikutnya ke minyak panas, saya akan segera beralih ke sayur. Piring berisi gorengan paling gampang saya letakkan di samping kompor. Nah, kan panas tuh. Tapi piring Indo tidak ada yang pecah sampai saat ini. Sebaliknya, piring China pernah saya letakkan di sisi kompor, tidak pecah saat itu. Kemudian saya letakkan agak jauh dari kompor, tapi masih di area dapur. Tidak saya pindahkan lagi hingga keesokan harinya. Dan hari itu saat saya memasak saya mendengar suara “Tang!” yang keras, seperti suara dua batang logam berat diadu. Ternyata suara itu datang dari piring China yang kini terbelah dua.

Kini piring China saya tinggal satu. Saya lupa nasib piring China yang satu lagi. Entah pecah karena tertumpuk benda lain atau karena panas kuah mendidih. Yang jelas piring Indo saya masih utuh, tiga buah. Jadi saat kemarin belanja bulanan lagi, saya bilang pada suami, “Cari piring yang buatan Indonesia aja ya, lebih kuat. Jangan yang buatan China.” Suami saya menjawab,”Iya, orang Indonesia udah pinter kok bikin piring.”

:)

Sunday, November 21, 2010

Cerita Fathir # 2: Majalah

Lama tak pulang ke kontrakan di Tangerang, saya mendapat cerita tentang Fathir dari suami. Suami saya mendapat cerita ini dari Ibu Fathir. Ibu Fathir adalah seorang wanita muda berwajah manis yang energik tapi dilarang melompat-lompat oleh tetangganya karena dikhawatirkan akan menimbulkan gempa lokal.

Ceritanya, Ibu Fathir membeli majalah wanita. Tema utamanya: menjaga agar hubungan suami istri tetap mesra. Majalah tersebut diletakkan Ibu begitu saja di kontrakan mereka. Meski Fathir belum dapat membaca, ia dapat mengerti gambar-gambar yang dipajang besar-besar di halaman majalah itu. Ibu Fathir mendapati, setiap kali Fathir membolak-balik majalah itu, ia selalu tersenyum-senyum sendiri. Kadang malah tertawa.

Rupanya, Fathir selalu tertawa setiap ia melihat gambar pasangan suami istri dengan pose sang suami menggendong sang istri. Karena penasaran, Ibu pun bertanya,
“Fathir kenapa ketawa?”
Masih sambil tertawa, Fathir menjawab,
“Kok Fathir gak pernah liat Ayah gendong Ibu, kayak gini?”
Ibu yang terkejut dengan jawaban Fathir mengambil majalah dari tangan Fathir sambil berkata, “Sudah! Gak usah liat-liat majalah ini lagi!”. Majalah pun kini disimpan rapi.

Sunday, November 14, 2010

Bangga

Sahabat, kadang membuat kita bersuka cita, tentu saja. Kadang membuat kita kesal, gemas, sedih, atau bahkan marah. Membangun sebuah hubungan adalah salah satu esensi dalam pembelajaran kehidupan. Maka segala rasa dalam hati dapat terpancing ke luar saat kita berinteraksi dengan orang lain yang (melalui proses) menjadi dekat dengan kita tersebut.

Di hari yang panas itu, sahabatku mengantar si nona pilih-pilih menjelajah mal di daerah Kuningan, Jakarta. Berujung pada frasa: tanpa hasil, si nona pilih-pilih meneruskan penculikan terhadap sahabatku yang pengantin baru itu dan menyeretnya ke Pasar Jatinegara, Mester.

Si nona pilih-pilih, mau mencari cinderamata untuk para tamu yang akan datang di hari pernikahannya. Setelah melihat-lihat, menimbang-nimbang, menanya-nanya harga, hati si nona pilih-pilih tidak tergerak untuk menggeser pilihan dari barang yang sudah ia taksir sebelumnya. Yang nona pilih-pilih inginkan untuk cinderamata adalah barang yang bermanfaat, ringan, dan terjangkau kantongnya. Dalam pikiran si nona pilih-pilih, ada 2 pilihan, kipas bordir atau handuk kecil (towel cake). Itu pun dengan catatan samping: handuk dapat dipakai saat cuaca panas (sebagai lap keringat) dan hujan (sebagai lap air), sementara kipas hanya terpakai saat cuaca panas.lagipula kipas biasanya tidak dipakai oleh tamu laki-laki. Jadi handuk punya 2 poin lebih.

Beberapa pilihan towel cake disajikan di hadapan si nona pilih-pilih oleh si mbak penjaga toko. Si nona pilih-pilih tidak puas memilih jika ia tidak dapat melihat bentuk asli dan merasakan tekstur handuk yang dipakai dalam cinderamata itu. Si mbak penjaga toko bilang, “Saya gak bisa gulungnya lagi nanti.” Dilematis. Tapi tak lama kemudian, saat si nona pilih-pilih melihat-lihat cinderamata yang lain, si mbak penjaga toko memberi 2 sampel handuk. Keduanya tidak memuaskan si nona pilih-pilih. Bahkan harganya termasuk yang termahal di antara cinderamata yang dijual di sana. Si nona pilih-pilih diam. Memutar otak. Jika dengan harga begitu mahal saja saya tetap tidak puas, buat apa saya beli, tanyanya dalam benak.
Si mbak penjaga toko lalu berkata pada si nona pilih-pilih, “Udahlah mbak, mau dikasih ke orang (lain) inih..”. Sahabatku si pengantin baru menjawab tegas, “Iya mbak, dan budaya kita adalah, memberi orang lain (hal) yang kita juga suka!”

Ah, kali ini sahabatku membuatku merasa bangga. ^_^

Thursday, October 21, 2010

Cerita Farhan # 4: Mimpi

Lagi-lagi tentang Farhan. Kabar terbaru tentang Farhan adalah: ia sudah dapat menceritakan mimpinya. Contohnya, beberapa malam yang lalu ia mengigau hingga Ayah pun terbangun.
“TIDAAAAK! TIDAK! TOLONG! MAMA! TOLONG!”
Berteriak-teriak, kakinya lasak menendang-nendang.
”CIAAAAT! STOP! STOP! STOP!"
Tak lupa tangannya menggapai-gapai udara. Dalam tidur pun Farhan tak bisa diam.
Esok paginya ia bercerita pada Ayah.
“Ayah, semalem aku mimpi Yah!” katanya antusias.
“Farhan mimpi apa?” sambut Ayah agak menantang agar Farhan bercerita.
“Aku mimpi mau ditabrak mobil Yah! Trus aku gini Yah,
(memeragakan, kedua tangannya terjulur ke depan seperti menahan benda dari depan) ‘tidaaaak, tidaaak....jangan tabrak aku!’ Trus dia mau nabrak Mama Yah! Aku mau peluk Mama tapi takut. Trus aku ‘Ciaaaat! Ciaaaat! Ciat! Stoooop!’”
Ayah mengangguk-angguk,
‘Hmm...cocok...cocok....ceritanya cocok.”

Saturday, October 16, 2010

Independent vs Interdependent

Jika dua orang yang mampu hidup sendiri, nyaman hidup sendiri, dan biasa hidup sendiri harus menjalani skenario untuk hidup bersama, apa jadinya?

Mendapat sms yang tiba-tiba dari seorang sahabat, menguatkan saya untuk benar-benar menulis tentang ini. Sebelumnya, saya berpikir bahwa topik ini mungkin sudah basi.

Trkadang aq merasa nyaman dengan ksendirian qu dan khawatir jk menikah. Dan begitupun sebaliknya.

Apa yang dirasakan sahabat saya ini, saya pernah rasakan juga. Saya merasa sudah mandiri, stand on my own feet. Segala kebutuhan material dapat tercukupi. Saya punya teman-teman yang baik, setia kawan, dan seru. Lebih-lebih lagi, beberapa dari teman-teman itu hidup serumah dengan saya. Berarti, sejak bangun tidur hingga tidur lagi saya tidak akan kehabisan teman untuk diajak berbagi. Karena hubungan kami adalah teman, kami tidak mengintervensi kehidupan masing-masing terlalu jauh. Setiap orang dapat memilih teman lain, pekerjaan baru, penyelesaian masalah, cara berpakaian, tempat bersantai, pilihan masa depan, dsb. tanpa benar-benar bisa memaksakannya pada orang lain, kecuali sebatas memberi nasehat pada sahabat.

Dengan penghargaan pada privacy masing-masing, saya dapat menyingkir dan menyendiri kapan pun saya merasa perlu. Tak ada urusan yang terlalaikan jika saya berangkat ke toko buku berlama-lama, ke pantai hingga malam, atau browsing internet hingga berjam-jam.

Saya terbiasa juga menyelesaikan urusan-urusan sendiri. Penelitian atau studi banding ke Bogor, sendiri. Mengajar atau rapat di Depok, sendiri. Observasi kampus atau sekadar jalan-jalan di Bandung, sendiri. Wawancara kerja dari Rawa Papan sampai Anyer, sendiri. Berangkat sendiri pulang sendiri. Sangat-sangat jarang saya dijemput atau diantar anggota keluarga. Kalau pun ada yang bersama saya, adalah beberapa teman dalam kesempatan yang berbeda-beda.

Karena ngekos sejak kuliah, saya juga harus memikirkan makanan sendiri. Cucian, tak usah ditanya. Mau cuci sendiri, cuci di mesin cuci di rumah, atau minta dicucikan tukang cuci, saya bebas menentukan sendiri. Saya bebas mau menentukan prioritas apa dalam berbelanja. Untuk buku, makanan, pakaian, atau kiriman untuk orang tua, saya tentukan sendiri.

Being independent maybe uneasy, but being interdependent is more difficult.

Pada beberapa orang, kemandirian adalah karakter. Pada beberapa orang lain, kemandirian harus dilatih. Dan pada sebagian lain, kemandirian menyebabkan fobia. That’s why I said, being independent maybe uneasy. Saya sendiri mandiri secara finansial baru setelah lulus kuliah. Mengumpulkan receh demi receh untuk memenuhi kebutuhan sendiri adalah perjuangan. Sekaligus kenikmatan. Memenuhi kebutuhan orang lain, lebih nikmat lagi. Maka pada akhirnya, mandiri, independent, adalah keniscayaan. Tak perlu dihindari, tak perlu gembar-gembor, pada akhirnya setiap kita, atau setidaknya saya, akan menjadi mandiri.

Menjadi saling-tergantung (interdependent) adalah sebuah level yang lebih lanjut daripada mandiri (independent). Hal ini pernah saya baca di suatu tempat, lupa di mana. Hal ini, dalam persepsi saya, dapat berarti bahwa, fase menjadi mandiri harus lebih dulu dijalani sebelum dapat mencapai fase saling-tergantung. Dapat juga berarti, menjadi saling bergantung lebih sulit daripada menjadi mandiri. Menjadi saling tergantung berarti ada kerelaan untuk berbagi bahkan di saat tidak rela, ada pengorbanan dari diri sendiri untuk yang lain yang akhirnya bermanfaat bagi diri sendiri juga, ada kecenderungan memikirkan masalah pihak yang lain saat masalah sendiri belum terselesaikan, ada kelapangan hati saat urusannya tak bisa diselesaikan tanpa ada kehadiran/partisipasi dari pihak yang lain.

Menjadi saling tergantung dapat dilihat dengan nyata dalam kehidupan pernikahan. Hampir segala hal diputuskan bersama. Batas-batas privacy bergeser atau bahkan hilang. Dalam bahasa seorang sahabat, “ tidak peduli mau tinggal di mana atau kerja apa, yang penting adalah bersama.”

Dengan menikah, keputusan satu pihak akan mempengaruhi pihak yang lain. Pilihan tempat kerja satu pihak akan mempengaruhi pihak yang lain. Pilihan berbusana satu pihak akan mempengaruhi selera atau bahkan reputasi pihak yang lain. Pilihan makanan satu pihak memaksa pihak lain mengonsumsi yang sama. Atau harus saya katakan, kedua insan sudah menjadi satu? Jika memang sudah menjadi satu, tak ada lagi pengorbanan karena pengorbanan yang dilakukan sesungguhnya adalah untuk diri sendiri.

Aduh gampang banget ngomongnya. Kenyataannya, seperti sahabat saya dan saya dulu rasakan, menjadi saling tergantung tidaklah mudah di saat kita telah nyaman hidup sendiri. Apalagi jika telah membuat prestasi atau capaian yang mungkin akan harus ditinggalkan saat menikah. Betapa sulit. Lebih-lebih lagi jika kenyamanan hidup sendiri telah menggiring pada pertimbangan untuk terus hidup sendiri. Mengapa saya harus berdua jika saya telah begitu nyaman dan sukses dengan hidup sendiri?
Setelah saya menikah, kesulitan-kesulitan itu nyata ada. Saya dan suami yang telah nyaman hidup sendiri, mandiri, tak biasa dilayani atau melayani, kini memikirkan tentang bagaimana saling menyenangkan, berusaha mempertimbangkan pihak lain saat mengambil keputusan, mencermati aktivitas pihak lain saat hendak melakukan aktivitas sendiri. Tapi itu semua bukan karena harus, melakukan terjadi secara alami.

Jadi, bagi saya, seperti halnya dalam berproses menjadi mandiri, menjadi saling tergantung tidak perlu dihindari atau sebaliknya digembar-gemborkan, hal tersebut adalah sebuah keniscayaan. Bekal pengetahuan selalu dibutuhkan, tapi keberanian untuk menjalaninya-lah yang akan lebih berguna dan menjadi pemanis saat proses (menjadi saling tergantung) itu berlangsung.

Anne of Green Gables

Yak! Ini resensi pertama di blog ini. Langsung saja ya!

Buku ini bagus. Bagus. Dan menarik. Sedikit mengingatkan pada Little House on the Prairie-nya Laura Ingalls (walau saya belum pernah benar-benar baca buku itu).

Anne Shirley, dengan latar belakang yatim piatu dan dalam buku ini diadopsi oleh Matthew dan Marilla Cuthbert, adalah anak yang cerdas. Ia dapat mengeluarkan apa yang ada dalam kepalanya dengan kata-kata yang sesuai, tepat, bahkan canggih. Pada awalnya saya berpikir anak ini agak tomboy, karena ia berani melakukan ini-itu yang mungkin biasanya tidak dilakukan anak perempuan. Misalnya, berniat tidur di atas pohon ceri liar di malam hari. Ternyata tidak. Anne justru sangat feminin. Ia begitu peduli pada lengan baju menggelembung yang sedang tren pada saat itu. (Eh, ini soal feminitas atau kecenderungan anak untuk sama dan diterima oleh teman ya?). Dan berkembang bersamaan dengan alur cerita, terlihat Anne menikmati kesejajaran dengan lawan jenisnya, melalui persaingan dan hubungan yang berevolusi dari waktu ke waktu.

Green Gables adalah sebuah tempat yang indah. Penulisnya, Lucy Maud Montgomery, memang lahir di pulau yang melatari Green Gables, yaitu Pulau Prince Edwards, Kanada. Berkali-kali keindahan pulau itu dideskripsikan oleh Bu Montgomery. Saya jadi ber pikir, ini agaknya promosi terselubung atas tempat kelahiran sang penulis. Tentu saja, indahnya Green Gables berbeda dengan indahnya hutan Cinangka yang saya tinggali sekarang. Kalau Anne kasihan pada orang-orang yang tak mengenal bunga mayflower, saya prihatin padanya yang tak mengenal pohon bambu. Tak ada pohon bambu yang pernah disebut dalam buku itu.

Penokohan dilakukan dengan cukup bagus walau buku ini benar-benar berfokus pada Anne, Marilla, Matthew, dan Mrs. Lynde. Saya baru jelas melihat karakter tokoh lain di bagian akhir cerita. Josie Pye dan Gilbert Blythe, misalnya. Mungkin juga sayanya aja yang telmi.

Kalimat pertama yang membuat saya terkesan adalah saat Anne menunggu dijemput Matthew di stasiun kereta: “Karena satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah duduk dan menunggu, maka dia duduk dan menunggu dengan seluruh daya dan upayanya.” Haha..benar juga ya, untuk menunggu dengan baik itu memang diperlukan upaya.

Bab paling lucu adalah Bab Imajinasi Indah yang Berkembang ke Arah yang Salah. Anda harus membacanya sendiri.

Cerita tentang persahabatan selalu menarik buat saya. Bahkan dalam buku Saman-nya Ayu Utami pun, hal yang paling menarik bagi saya adalah persahabatan 4 wanita di dalamnya. Nah, Anne ini punya sahabat bernama Diana. Suatu hari, Marilla menemukan Anne yang berumur 11 tahun ini menangis tersedu-sedu memikirkan bahwa suatu hari nanti Diana akan menikah dan mereka akan terpisahkan. Sungguh hal yang konyol. Tapi setelah saya pikir lagi, saya juga kadang seperti itu, takut menghadapi apa yang akan terjadi di masa depan.


Yang menarik lagi, buku ini dapat kembali mengingatkan saya akan pentingnya politik. Lucu kan? Buku tentang anak-anak kok nyambung ke politik. Saya orang yang tidak terlalu terlibat dalam politik, tapi ada saat-saatnya saya pikir saya harus terjun di dalamnya. Nah, dalam buku ini, terlihat bahwa, hanya dengan melihat wajah murung Anne setiap kiriman pos datang, yang berarti pengumuman kelulusan Akademi Queen belum ada, Matthew mempertimbangkan dengan serius untuk mengubah pilihannya dari Partai Konservatif (yang saat itu berkuasa dan mengurus dewan pendidikan), ke Partai Liberal.

Banyak hal menarik yang dapat Anda temukan di buku ini. Saya, yang berpendapat bahwa buku bagus itu dapat digolongkan menjadi dua, yaitu buku yang perlu dimiliki dan buku yang cukup dipinjam di perpustakaan, merekomendasikan agar buku ini dimiliki. Bab terakhir membuat saya meneteskan air mata. Anne terus mengalami pertumbuhan sehingga Anne di akhir cerita tidak sama dengan Anne di awal cerita . Mungkin hal itulah yang membuat saya, meski menilai buku ini bagus.Bagus.Dan menarik, tidak tertarik untuk membaca ulang. Bagaimana dengan Anda?

Oya, saya jalan-jalan ke tempat Erma dan menemukan resensi lain tentang buku ini. Silakan kalau mau baca.