tag:blogger.com,1999:blog-253508912024-03-13T03:31:24.758-07:00journal of a learnerone effort to write. one effort to be a lifelong learnerWinyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.comBlogger67125tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-69326144592260911732012-04-20T10:17:00.001-07:002012-04-20T10:18:31.760-07:00Halo apa kabar?Waaaaah…. Blog ini <i>gak</i> butuh kemoceng, sapu, atau bahkan lap pel untuk jadi bersih. Blog ini butuh kape! Haha… mau sih gonta ganti <i>theme</i>, tapi kayaknya belum bisa disempatkan. Mana <i>sampe</i> ganti tampilan <i>gini</i> Bloggernya, hihihi... Yah, karena komen jeng ini lah saya jadi semangat nulis lagi. Karena komen itu membawa saya pada blognya yang ternyata…sudah mulai diisi lagi setelah beberapa lama terbengkalai. Jeh, senang yah punya teman yang bisa saling menyemangati. Terima kasih ya ummu dihaan sayang…
<i>Time does fly</i>. Sekarang saya sudah jadi ibu. Percaya ga? Keseharian ya disibukkan dengan sang bayi lucu yang tiap harinya memberi kejutan. Jadi kalau ada yang mau tau bagaimana kabar saya (emang ada?), jelas kabar saya baik. <i>Even super!</i> Subhanallah, walhamdulillah, Allahu akbar! *brasa di musholla kampus*
Oke, sekarang saya coba menulis lagi. Meski bikin buku bukan resolusi saya tahun ini *melirik suami*, tapi rasanya sayang banget kalau saya terlalu lama jauh dari aktivitas menulis. Apalagi saya mau juga menulis untuk kepentingan komersil *melirik suami lagi*. Sudah dimulai dengan dimuatnya tulisan saya di salah satu majalah yang berkantor di Jakarta, dan harusnya saya berbuat lebih baik di masa datang. Sementara ini dulu yang saya tulis. Semoga yang berikutnya lebih bermanfaat. Salam :)Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-13164383866668695552011-02-07T17:29:00.000-08:002011-03-22T01:03:23.741-07:00Menghilangkan Bekas Jerawat dengan Cara TradisionalBerlatar belakang problem yang saya alami berupa bekas-bekas jerawat yang bikin geregetan (geregetan..jadinya geregetan..apa yang harus kulakukan..*halah malah nyanyi*), saya coba menelusuri mesin pencari Google nan sakti itu untuk menemukan cara-cara tradisional untuk menghilangkan bekas jerawat. Setelah saya kumpulkan, saya seleksi karena tak semua cara baik untuk dipraktekkan. Misalnya penggunaan bawang putih. Bawang putih bersifat panas dan dapat meninggalkan noda hitam di kulit. Kalau anda masih mau mencoba cara itu, coba dulu pada kulit badan anda. Jika meninggalkan noda kehitaman, lebih baik tak usah diteruskan. Noda itu sulit hilangnya, gawat kan kalau ada di wajah? ;) Nah, hasil seleksi itu saya unggah di sini, siapa tau ada di antara teman-teman yang membutuhkannya. Saya baru akan mencoba cara-cara ini, jadi jangan tanya hasilnya pada saya ya..Semoga bermanfaat.<br />
<br />
1. <b>Jus Lemon</b>. Peras lemon, oleskan di wajah 2x sehari. Minum jus lemon sehari sekali. (versi Media Indonesia: Jus lemon atau limau segar. Oleskan jus segar tersebut secara langsung ke area bekas jerawat dengan menggunakan kapas. Biarkan beberapa saat hingga meresap, selanjutnya bersihkan dengan air. Lemon berfungsi menyamarkan bekas jerawat yang berwarna kehitaman.)<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/_KACm8NDm1mw/TVCbCOtSaiI/AAAAAAAAAC0/ADXI-9dEi38/s1600/lemon.jpg" imageanchor="1" style="clear:right; float:right; margin-left:1em; margin-bottom:1em"><img border="0" height="149" width="113" src="http://1.bp.blogspot.com/_KACm8NDm1mw/TVCbCOtSaiI/AAAAAAAAAC0/ADXI-9dEi38/s320/lemon.jpg" /></a></div><br />
<br />
2. <b>Lidah Buaya</b>. Ambil jel nya dan oleskan di wajah. Buat jus dan minum sehari sekali.<br />
3. <b>Madu.</b> Campur madu dan susu, lalu oleskan di wajah dua kali sehari.<br />
4. Untuk pengobatan dari dalam perbanyak <b>minum jus tomat,wortel,strawberry + brokoli</b> (di-mix)<br />
5. <b>Belimbing wuluh</b> yang ditumbuk sampai halus seperti bubur lalu dicampur air garam secukupnya, Lulur ini juga berfungsi sebagai astringen yang akan membantu memperkecil pori-pori yang terbuka terlalu lebar.<br />
6. Cuci dengan <b>air kelapa tua</b>. Setelah kering sendiri, bilas dengan air bersih.<br />
7. <b>Air kelapa dicampur dengan parutan kunyit</b> kemudian rendam selama tiga malam. Setelah direndam, saring rendaman tersebut untuk mendapatkan airnya. Campuran air tersebut bisa digunakan untuk membantu menghilangkan jerawat dan juga bekas jerawat yang membandel.<br />
8. <b>Pepaya</b> yang sudah dihaluskan bisa dioleskan pada wajah. Biarkan masker mengering selama 15 sampai 20 menit, kemudian dicuci dengan air bersih. Masker pepaya ini bisa membuka pori-pori kulit yang menyumbat dan menghilangkan minyak, serta sel-sel kulit mati dari kulit.<br />
9. <b>Masker timun</b> untuk menghilangkan bekas jerawat di wajah (lakukan setiap hari)<br />
10. <b>Air beras</b>, selain berkhasiat untuk menghilangkan bekas jerawat, juga berkhasiat untuk menghaluskan kulit. Basuh muka dengan air basuhan beras. Setelah kering, cuci dengan air bersih. (lakukan setiap hari)<br />
11. <b>Air dari parutan ubi kayu</b> juga sangat berkhasiat untuk menghilangkan bekas jerawat (Lakukan setiap hari selama seminggu.)<br />
12. <b>Es Batu</b>: Usapkan es ke permukaan wajah untuk merapatkan pori-pori sehingga pertikel-partikel luar penyebab jerawat tidak masuk ke dalam kulit.<br />
13. <b>Irisan Tomat</b>: Mengusapkan irisan tomat pada luka bekas jerawat terbukti dapat menghilangkan noda yang mengganggu. Gosok2kan tomat atau timun lalu biarkan selama 15 menit lalu bilas dengan air bersih. Tomat tidak hanya mengecilkan pori-pori tapi juga menghilangkan komedo dan cocok untuk pengobatan kulit berminyak.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/_KACm8NDm1mw/TVCdhlp0mQI/AAAAAAAAADE/xFdC6lMy_vY/s1600/lidah-buaya.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="256" width="320" src="http://1.bp.blogspot.com/_KACm8NDm1mw/TVCdhlp0mQI/AAAAAAAAADE/xFdC6lMy_vY/s320/lidah-buaya.jpg" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/_KACm8NDm1mw/TVCeVl4pMHI/AAAAAAAAADM/JIecNuTOhJo/s1600/Kayumanis.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="178" width="320" src="http://2.bp.blogspot.com/_KACm8NDm1mw/TVCeVl4pMHI/AAAAAAAAADM/JIecNuTOhJo/s320/Kayumanis.jpg" /></a></div><br />
<br />
14. <b>Kunyit</b>: Di belahan dunia timur kunyit telah beribu-ribu tahun dikenal sebagai produk kecantikan. Salah satu khasiatnya adalah mengurangi luka bekas jerawat (pupurkan parutannya).<br />
15. <b>Minyak Zaitun</b>: Selain membuat masakan lezat, minyak zaitun juga bisa menghilangkan noda jerawat. Pijat dengan lembut wajah Anda dengan minyak jerawat terutama di bagian yang terdapat noda jerawat. <br />
16. <b>Pasta campuran kayu cendana dan beberapa tetes air mawar</b>. Campuran ini bisa digunakan sebagai facial mask atau dioleskan secara langsung ke area bekas luka selama lebih dari 1 jam. Ada baiknya dipakai pada malam hari. Selanjutnya bersihkan dengan air. Cara ini efektif menyamarkan dan menghilangkan bekas jerawat. (versi lain: oleskan campuran bubuk kayu cendana dan air mawar pada bekas jerawat sebelum tidur dan gunakan semalaman lalu bilas dengan air dingin di pagi hari. Tapi jika kulit menjadi kering, cobalah ditambahkan susu dalam ramuan bubuk cendana itu dan gunakan hanya beberapa jam saja, tak perlu semalaman.)<br />
17. Oleskan <b>bubuk kayu cendana yang dibuat pasta</b> pada bekas jerawat sebelum tidur dan gunakan semalaman, lalu bilas dengan air dingin di pagi hari.<br />
18. <b>Masker campuran</b>. Campurkan 1 sendok makan krim asam, 1 sendok makan yogurt, satu sendok makan oatmeal, dan beberapa tetes jus lemon. Selanjutnya balurkan campuran ini ke area bekas jerawat. Biarkan selama 10 menit, kemudian cucilah hingga bersih.<br />
19. <b>Masker tomat dan ketimun</b>. Kombinasi kedua bahan ini dinyatakan sangat efektif menyamarkan bekas jerawat. Selain itu, masker campuran tomat dan ketimun juga bisa mengencangkan pori-pori kulit, sehingga kulit tampak lebih menarik.<br />
20. <b>Minyak lavender</b>. Gosokkan minyak lavender ke area bekas jerawat paling tidak 2 kali sehari. Cara ini dinyatakan efektif menyamarkan bekas jerawat.<br />
21. <b>Putih telur</b>. Ini merupakan salah satu cara paling murah untuk menghilangkan bekas jerawat. Oleskan putih telur ke bekas jerawat dengan menggunakan kapas dan biarkan sepanjang malam. Cara ini selain mencegah munculnya jerawat juga efektif mengatasi bekas jerawat.<br />
22. <b>Jus ketumbar dan tepung kunyit</b>. Campurkan satu sendok teh jus ketumbar dengan sedikit tepung kunyit kemudian balurkan ke area yang terinfeksi. Cara alami ini dinyatakan efektif menghilangkan bekas jerawat.<br />
23. Gunakan <b>madu yang telah dipanaskan</b> sebelumnya. Lalu oleskan ke flek saat masih hangat. Diamkan sekitar 10 menit. Lakukan setiap hari sampai flek benar-benar hilang.<br />
24. <b>Menguapkan wajah</b>: Campurkan mawar dan perasan jeruk lemon pada wadah yang telah berisi air panas, lalu letakkan wajah di atas wadah. Diamkan tiga hingga lima menit, lalu bilas wajah dengan air dingin untuk menutup kembali pori-pori. Air mawar dan lemon dipercaya dapat memudarkan bekas jerawat sekaligus mencerahkan kulit wajah.<br />
25. Pilih <b>minyak vitamin E</b>, lalu terapkan pada daerah bekas jerawat. Lakukan perawatan ini pada malam hari dan diamkan semalaman. Esok paginya, cuci wajah dengan air hangat. (disarankan oleh dermatologist)<br />
26. <b>Putih telur + 1 sendok tepung jagung + minyak zaitun</b>. Ketiganya, aduk secara rata. Gunakan sebagai masker.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/_KACm8NDm1mw/TVCbqXnMXfI/AAAAAAAAAC8/Yrs0f8htywQ/s1600/minyak-zaitun.jpg" imageanchor="1" style="clear:right; float:right; margin-left:1em; margin-bottom:1em"><img border="0" height="150" width="150" src="http://4.bp.blogspot.com/_KACm8NDm1mw/TVCbqXnMXfI/AAAAAAAAAC8/Yrs0f8htywQ/s320/minyak-zaitun.jpg" /></a></div><br />
<br />
27. Tumbuk beberapa batang kulit <b>kayu manis</b> dan jadikan serbuk. Campurkan dengan sedikit air. Sapukan pada bekas jerawat. Lakukan selama seminggu. <br />
<br />
Demikian bahan yang dapat saya kumpulkan. Mohon maaf belum mencantumkan sumber-sumber informasinya. Tapi rata-rata bahan tersebut dipublikasi di banyak tempat, jadi saya anggap sudah milik publik. Oke deh..Selamat mencoba! :)Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-87669350344907831892010-12-23T23:49:00.000-08:002010-12-23T23:49:27.184-08:00Piring Indo vs Piring CinaIni pengalaman pribadi yaa..<br />
Waktu saya nikah, banyak sekali yang menghadiahi saya sprei. Yah, hadiah standar orang menikah mungkin ya, praktis dan hampir pasti bermanfaat. Ini memberi saya pelajaran untuk tidak menghadiahi sprei pada teman yang menikah, kecuali sprei dengan bedcover yang dibeli dalam rangka patungan. Anyway, begitu banyaknya yang menghadiahi saya sprei, tapi tidak ada yang menghadiahi saya piring! Ada sih yang memberi set cangkir berikut piring kecilnya (saucer), tapi tetap aja gak bisa dipakai untuk makan. Jadi, dua hari setelah nikah dan kami sudah menempati rumah kontrakan (di pekarangan belakang rumah ortu), saat hari masih pagi dan saya sedang berusaha menghabiskan bubur ayam di warung kopi, suami menyetop tukang perabot yang keliling dengan mobil pick-up. Piring, mangkok, gelas, sendok, mmm… apalagi ya? Ember, kemoceng, bak air, keranjang, suami bertanya apakah ada yang kurang. Selesai sarapan di warung kopi kami pun menggotong-gotong perabot ke rumah kami. Itulah penanda kedua bahwa kami pengantin baru, penanda bagi para tetangga. Penanda pertamanya adalah, suka bergandengan tangan. Aduh, mulai ngelantur.<br />
<br />
Waktu itu, karena saya belum tune-in banget bahwa saya sedang membangun rumah tangga baru, dan karena kami masih akan tinggal terpisah selama beberapa bulan, saya belum dapat mengira-ngira berapa jumlah piring-gelas-mangkok yang saya butuhkan. Tempat untuk menyimpannya saja belum ada. Makan masih sering di luar karena belum punya alat masak. Kami juga belum bicara masalah detail keuangan sehingga saya belum dapat mereka-reka kemampuan finansial suami saat itu, apalagi pengeluaran besar-bagi masing-masing kami-baru saja terjadi. Jadilah saya hanya membeli tiga buah piring dan tiga buah gelas, mangkok nanti dulu lah…<br />
<br />
Di kemudian hari, saat saya mulai sedikit-sedikit memasak untuk suami, saya menyadari piring tiga buah sama sekali tidak cukup. Piring-piring milik orang tua pun jadi korban peminjaman. Maka saat belanja bulanan berikutnya, saya membeli lagi tiga buah piring. Dan kali itu, saya juga membeli mangkok.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/_KACm8NDm1mw/TRRQLsqu6NI/AAAAAAAAACk/AQ4Y8S67Edw/s1600/foto%2Bpiring.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="240" width="320" src="http://3.bp.blogspot.com/_KACm8NDm1mw/TRRQLsqu6NI/AAAAAAAAACk/AQ4Y8S67Edw/s320/foto%2Bpiring.jpg" /></a></div>gambar diambil dari <a href="http://www.google.co.id/imglanding?q=piring+makan&um=1&hl=id&tbs=isch:1&tbnid=oSnmtZAT8IUmCM:&imgrefurl=http://www.kaskus.us/showthread.php%253Ft%253D1335463&imgurl=http://i337.photobucket.com/albums/n366/buduto/30012009096.jpg&zoom=1&w=1024&h=768&iact=rc&ei=lE8UTYPmFIOucJPjqI0K&oei=704UTZWoAsTVrQe2_dTMCw&esq=16&page=10&tbnh=119&tbnw=152&start=92&ndsp=10&ved=1t:429,r:0,s:92&biw=1008&bih=418">sini</a><br />
<br />
Piring yang saya beli kali pertama, bertuliskan made in China, kita sebut saja piring China. Piring yang saya beli kali kedua, bertuliskan made in Indonesia, kita sebut saja piring Indo. Setelah enam bulan menikah, saya mendapat pengalaman bersama piring-piring ini. Piring Indo, lebih mudah dibersihkan tinimbang piring China. Kalau kita makan nasi tanpa sayur berkuah di satu piring, kering gitu, biasanya bekas nasinya akan mengering di permukaan piring. Jika tidak langsung dicuci, bekas nasi itu akan makin mengeras dan sulit dibersihkan. Berdasar pengamatan saya, hal itu tidak terjadi pada piring Indo. Cukup saya basuh dulu sebelum saya usap dengan spons bersabun, bekas nasi itu langsung lenyap. Sebaliknya, pada piring China, bekas nasi itu harus saya gosok-gosok beberapa kali baru dia meluruh.<br />
<br />
Piring Indo, tidak mudah pecah. Biasanya kalau saya memasak, satu kompor saya gunakan untuk menggoreng dan kompor satunya saya pakai untuk memasak sayur. Berhubung saya belum punya alat peniris minyak, saya mengangkat gorengan menggunakan piring beralas kertas koran. Kalau sedang terburu-buru, setelah mengangkat gorengan ke piring dan memasukkan bahan gorengan sesi berikutnya ke minyak panas, saya akan segera beralih ke sayur. Piring berisi gorengan paling gampang saya letakkan di samping kompor. Nah, kan panas tuh. Tapi piring Indo tidak ada yang pecah sampai saat ini. Sebaliknya, piring China pernah saya letakkan di sisi kompor, tidak pecah saat itu. Kemudian saya letakkan agak jauh dari kompor, tapi masih di area dapur. Tidak saya pindahkan lagi hingga keesokan harinya. Dan hari itu saat saya memasak saya mendengar suara “Tang!” yang keras, seperti suara dua batang logam berat diadu. Ternyata suara itu datang dari piring China yang kini terbelah dua.<br />
<br />
Kini piring China saya tinggal satu. Saya lupa nasib piring China yang satu lagi. Entah pecah karena tertumpuk benda lain atau karena panas kuah mendidih. Yang jelas piring Indo saya masih utuh, tiga buah. Jadi saat kemarin belanja bulanan lagi, saya bilang pada suami, “Cari piring yang buatan Indonesia aja ya, lebih kuat. Jangan yang buatan China.” Suami saya menjawab,”Iya, orang Indonesia udah pinter kok bikin piring.”<br />
<br />
:)Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-85040726076945045182010-11-21T19:38:00.000-08:002010-11-21T19:38:54.657-08:00Cerita Fathir # 2: MajalahLama tak pulang ke kontrakan di Tangerang, saya mendapat cerita tentang Fathir dari suami. Suami saya mendapat cerita ini dari Ibu Fathir. Ibu Fathir adalah seorang wanita muda berwajah manis yang energik tapi dilarang melompat-lompat oleh tetangganya karena dikhawatirkan akan menimbulkan gempa lokal.<br />
<br />
Ceritanya, Ibu Fathir membeli majalah wanita. Tema utamanya: menjaga agar hubungan suami istri tetap mesra. Majalah tersebut diletakkan Ibu begitu saja di kontrakan mereka. Meski Fathir belum dapat membaca, ia dapat mengerti gambar-gambar yang dipajang besar-besar di halaman majalah itu. Ibu Fathir mendapati, setiap kali Fathir membolak-balik majalah itu, ia selalu tersenyum-senyum sendiri. Kadang malah tertawa.<br />
<br />
Rupanya, Fathir selalu tertawa setiap ia melihat gambar pasangan suami istri dengan pose sang suami menggendong sang istri. Karena penasaran, Ibu pun bertanya,<br />
“Fathir kenapa ketawa?” <br />
Masih sambil tertawa, Fathir menjawab,<br />
“Kok Fathir gak pernah liat Ayah gendong Ibu, kayak gini?”<br />
Ibu yang terkejut dengan jawaban Fathir mengambil majalah dari tangan Fathir sambil berkata, “Sudah! Gak usah liat-liat majalah ini lagi!”. Majalah pun kini disimpan rapi.Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-51235308503477854642010-11-14T23:36:00.001-08:002010-11-14T23:36:06.699-08:00BanggaSahabat, kadang membuat kita bersuka cita, tentu saja. Kadang membuat kita kesal, gemas, sedih, atau bahkan marah. Membangun sebuah hubungan adalah salah satu esensi dalam pembelajaran kehidupan. Maka segala rasa dalam hati dapat terpancing ke luar saat kita berinteraksi dengan orang lain yang (melalui proses) menjadi dekat dengan kita tersebut.<br />
<br />
Di hari yang panas itu, sahabatku mengantar si nona pilih-pilih menjelajah mal di daerah Kuningan, Jakarta. Berujung pada frasa: tanpa hasil, si nona pilih-pilih meneruskan penculikan terhadap sahabatku yang pengantin baru itu dan menyeretnya ke Pasar Jatinegara, Mester.<br />
<br />
Si nona pilih-pilih, mau mencari cinderamata untuk para tamu yang akan datang di hari pernikahannya. Setelah melihat-lihat, menimbang-nimbang, menanya-nanya harga, hati si nona pilih-pilih tidak tergerak untuk menggeser pilihan dari barang yang sudah ia taksir sebelumnya. Yang nona pilih-pilih inginkan untuk cinderamata adalah barang yang bermanfaat, ringan, dan terjangkau kantongnya. Dalam pikiran si nona pilih-pilih, ada 2 pilihan, kipas bordir atau handuk kecil (<i>towel cake</i>). Itu pun dengan catatan samping: handuk dapat dipakai saat cuaca panas (sebagai lap keringat) dan hujan (sebagai lap air), sementara kipas hanya terpakai saat cuaca panas.lagipula kipas biasanya tidak dipakai oleh tamu laki-laki. Jadi handuk punya 2 poin lebih.<br />
<br />
Beberapa pilihan <i>towel cake</i> disajikan di hadapan si nona pilih-pilih oleh si mbak penjaga toko. Si nona pilih-pilih tidak puas memilih jika ia tidak dapat melihat bentuk asli dan merasakan tekstur handuk yang dipakai dalam cinderamata itu. Si mbak penjaga toko bilang, “Saya gak bisa gulungnya lagi nanti.” Dilematis. Tapi tak lama kemudian, saat si nona pilih-pilih melihat-lihat cinderamata yang lain, si mbak penjaga toko memberi 2 sampel handuk. Keduanya tidak memuaskan si nona pilih-pilih. Bahkan harganya termasuk yang termahal di antara cinderamata yang dijual di sana. Si nona pilih-pilih diam. Memutar otak. Jika dengan harga begitu mahal saja saya tetap tidak puas, buat apa saya beli, tanyanya dalam benak.<br />
Si mbak penjaga toko lalu berkata pada si nona pilih-pilih, “Udahlah mbak, mau dikasih ke orang (lain) inih..”. Sahabatku si pengantin baru menjawab tegas, “Iya mbak, dan budaya kita adalah, memberi orang lain (hal) yang kita juga suka!”<br />
<br />
Ah, kali ini sahabatku membuatku merasa bangga. ^_^Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-8161773980689289022010-10-21T02:16:00.000-07:002010-10-21T02:21:56.124-07:00Cerita Farhan # 4: MimpiLagi-lagi tentang Farhan. Kabar terbaru tentang Farhan adalah: ia sudah dapat menceritakan mimpinya. Contohnya, beberapa malam yang lalu ia mengigau hingga Ayah pun terbangun. <br />
“TIDAAAAK! TIDAK! TOLONG! MAMA! TOLONG!”<br />
Berteriak-teriak, kakinya lasak menendang-nendang.<br />
”CIAAAAT! STOP! STOP! STOP!"<br />
Tak lupa tangannya menggapai-gapai udara. Dalam tidur pun Farhan tak bisa diam.<br />
Esok paginya ia bercerita pada Ayah.<br />
“Ayah, semalem aku mimpi Yah!” katanya antusias.<br />
“Farhan mimpi apa?” sambut Ayah agak menantang agar Farhan bercerita.<br />
“Aku mimpi mau ditabrak mobil Yah! Trus aku gini Yah, <br />
(memeragakan, kedua tangannya terjulur ke depan seperti menahan benda dari depan) ‘tidaaaak, tidaaak....jangan tabrak aku!’ Trus dia mau nabrak Mama Yah! Aku mau peluk Mama tapi takut. Trus aku ‘Ciaaaat! Ciaaaat! Ciat! Stoooop!’” <br />
Ayah mengangguk-angguk,<br />
‘Hmm...cocok...cocok....ceritanya cocok.”Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-10379668917033716952010-10-16T02:15:00.000-07:002010-10-16T02:15:25.712-07:00Independent vs InterdependentJika dua orang yang mampu hidup sendiri, nyaman hidup sendiri, dan biasa hidup sendiri harus menjalani skenario untuk hidup bersama, apa jadinya? <br />
<br />
Mendapat sms yang tiba-tiba dari seorang sahabat, menguatkan saya untuk benar-benar menulis tentang ini. Sebelumnya, saya berpikir bahwa topik ini mungkin sudah basi. <br />
<br />
<i>Trkadang aq merasa nyaman dengan ksendirian qu dan khawatir jk menikah. Dan begitupun sebaliknya.</i><br />
<br />
Apa yang dirasakan sahabat saya ini, saya pernah rasakan juga. Saya merasa sudah mandiri, <i>stand on my own feet</i>. Segala kebutuhan material dapat tercukupi. Saya punya teman-teman yang baik, setia kawan, dan seru. Lebih-lebih lagi, beberapa dari teman-teman itu hidup serumah dengan saya. Berarti, sejak bangun tidur hingga tidur lagi saya tidak akan kehabisan teman untuk diajak berbagi. Karena hubungan kami adalah teman, kami tidak mengintervensi kehidupan masing-masing terlalu jauh. Setiap orang dapat memilih teman lain, pekerjaan baru, penyelesaian masalah, cara berpakaian, tempat bersantai, pilihan masa depan, dsb. tanpa benar-benar bisa memaksakannya pada orang lain, kecuali sebatas memberi nasehat pada sahabat. <br />
<br />
Dengan penghargaan pada <i>privacy</i> masing-masing, saya dapat menyingkir dan menyendiri kapan pun saya merasa perlu. Tak ada urusan yang terlalaikan jika saya berangkat ke toko buku berlama-lama, ke pantai hingga malam, atau browsing internet hingga berjam-jam.<br />
<br />
Saya terbiasa juga menyelesaikan urusan-urusan sendiri. Penelitian atau studi banding ke Bogor, sendiri. Mengajar atau rapat di Depok, sendiri. Observasi kampus atau sekadar jalan-jalan di Bandung, sendiri. Wawancara kerja dari Rawa Papan sampai Anyer, sendiri. Berangkat sendiri pulang sendiri. Sangat-sangat jarang saya dijemput atau diantar anggota keluarga. Kalau pun ada yang bersama saya, adalah beberapa teman dalam kesempatan yang berbeda-beda.<br />
<br />
Karena ngekos sejak kuliah, saya juga harus memikirkan makanan sendiri. Cucian, tak usah ditanya. Mau cuci sendiri, cuci di mesin cuci di rumah, atau minta dicucikan tukang cuci, saya bebas menentukan sendiri. Saya bebas mau menentukan prioritas apa dalam berbelanja. Untuk buku, makanan, pakaian, atau kiriman untuk orang tua, saya tentukan sendiri.<br />
<br />
<b>Being independent maybe uneasy, but being interdependent is more difficult.</b><br />
<br />
Pada beberapa orang, kemandirian adalah karakter. Pada beberapa orang lain, kemandirian harus dilatih. Dan pada sebagian lain, kemandirian menyebabkan fobia. <i>That’s why I said, being independent maybe uneasy</i>. Saya sendiri mandiri secara finansial baru setelah lulus kuliah. Mengumpulkan receh demi receh untuk memenuhi kebutuhan sendiri adalah perjuangan. Sekaligus kenikmatan. Memenuhi kebutuhan orang lain, lebih nikmat lagi. Maka pada akhirnya, mandiri, independent, adalah keniscayaan. Tak perlu dihindari, tak perlu gembar-gembor, pada akhirnya setiap kita, atau setidaknya saya, akan menjadi mandiri.<br />
<br />
Menjadi saling-tergantung (<i>interdependent</i>) adalah sebuah level yang lebih lanjut daripada mandiri (<i>independent</i>). Hal ini pernah saya baca di suatu tempat, lupa di mana. Hal ini, dalam persepsi saya, dapat berarti bahwa, fase menjadi mandiri harus lebih dulu dijalani sebelum dapat mencapai fase saling-tergantung. Dapat juga berarti, menjadi saling bergantung lebih sulit daripada menjadi mandiri. Menjadi saling tergantung berarti ada kerelaan untuk berbagi bahkan di saat tidak rela, ada pengorbanan dari diri sendiri untuk yang lain yang akhirnya bermanfaat bagi diri sendiri juga, ada kecenderungan memikirkan masalah pihak yang lain saat masalah sendiri belum terselesaikan, ada kelapangan hati saat urusannya tak bisa diselesaikan tanpa ada kehadiran/partisipasi dari pihak yang lain.<br />
<br />
Menjadi saling tergantung dapat dilihat dengan nyata dalam kehidupan pernikahan. Hampir segala hal diputuskan bersama. Batas-batas <i>privacy</i> bergeser atau bahkan hilang. Dalam bahasa seorang sahabat, “ tidak peduli mau tinggal di mana atau kerja apa, yang penting adalah bersama.” <br />
<br />
Dengan menikah, keputusan satu pihak akan mempengaruhi pihak yang lain. Pilihan tempat kerja satu pihak akan mempengaruhi pihak yang lain. Pilihan berbusana satu pihak akan mempengaruhi selera atau bahkan reputasi pihak yang lain. Pilihan makanan satu pihak memaksa pihak lain mengonsumsi yang sama. Atau harus saya katakan, kedua insan sudah menjadi satu? Jika memang sudah menjadi satu, tak ada lagi pengorbanan karena pengorbanan yang dilakukan sesungguhnya adalah untuk diri sendiri.<br />
<br />
Aduh gampang banget ngomongnya. Kenyataannya, seperti sahabat saya dan saya dulu rasakan, menjadi saling tergantung tidaklah mudah di saat kita telah nyaman hidup sendiri. Apalagi jika telah membuat prestasi atau capaian yang mungkin akan harus ditinggalkan saat menikah. Betapa sulit. Lebih-lebih lagi jika kenyamanan hidup sendiri telah menggiring pada pertimbangan untuk terus hidup sendiri. Mengapa saya harus berdua jika saya telah begitu nyaman dan sukses dengan hidup sendiri? <br />
Setelah saya menikah, kesulitan-kesulitan itu nyata ada. Saya dan suami yang telah nyaman hidup sendiri, mandiri, tak biasa dilayani atau melayani, kini memikirkan tentang bagaimana saling menyenangkan, berusaha mempertimbangkan pihak lain saat mengambil keputusan, mencermati aktivitas pihak lain saat hendak melakukan aktivitas sendiri. Tapi itu semua bukan karena harus, melakukan terjadi secara alami.<br />
<br />
Jadi, bagi saya, seperti halnya dalam berproses menjadi mandiri, menjadi saling tergantung tidak perlu dihindari atau sebaliknya digembar-gemborkan, hal tersebut adalah sebuah keniscayaan. Bekal pengetahuan selalu dibutuhkan, tapi keberanian untuk menjalaninya-lah yang akan lebih berguna dan menjadi pemanis saat proses (menjadi saling tergantung) itu berlangsung.Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-27589712498355500052010-10-16T02:03:00.000-07:002010-10-16T02:03:49.806-07:00Anne of Green GablesYak! Ini resensi pertama di blog ini. Langsung saja ya!<br />
<br />
Buku ini bagus. Bagus. Dan menarik. Sedikit mengingatkan pada Little House on the Prairie-nya Laura Ingalls (walau saya belum pernah benar-benar baca buku itu).<br />
<br />
Anne Shirley, dengan latar belakang yatim piatu dan dalam buku ini diadopsi oleh Matthew dan Marilla Cuthbert, adalah anak yang cerdas. Ia dapat mengeluarkan apa yang ada dalam kepalanya dengan kata-kata yang sesuai, tepat, bahkan canggih. Pada awalnya saya berpikir anak ini agak tomboy, karena ia berani melakukan ini-itu yang mungkin biasanya tidak dilakukan anak perempuan. Misalnya, berniat tidur di atas pohon ceri liar di malam hari. Ternyata tidak. Anne justru sangat feminin. Ia begitu peduli pada lengan baju menggelembung yang sedang tren pada saat itu. (Eh, ini soal feminitas atau kecenderungan anak untuk sama dan diterima oleh teman ya?). Dan berkembang bersamaan dengan alur cerita, terlihat Anne menikmati kesejajaran dengan lawan jenisnya, melalui persaingan dan hubungan yang berevolusi dari waktu ke waktu.<br />
<br />
Green Gables adalah sebuah tempat yang indah. Penulisnya, Lucy Maud Montgomery, memang lahir di pulau yang melatari Green Gables, yaitu Pulau Prince Edwards, Kanada. Berkali-kali keindahan pulau itu dideskripsikan oleh Bu Montgomery. Saya jadi ber pikir, ini agaknya promosi terselubung atas tempat kelahiran sang penulis. Tentu saja, indahnya Green Gables berbeda dengan indahnya hutan Cinangka yang saya tinggali sekarang. Kalau Anne kasihan pada orang-orang yang tak mengenal bunga <i>mayflower</i>, saya prihatin padanya yang tak mengenal pohon bambu. Tak ada pohon bambu yang pernah disebut dalam buku itu.<br />
<br />
Penokohan dilakukan dengan cukup bagus walau buku ini benar-benar berfokus pada Anne, Marilla, Matthew, dan Mrs. Lynde. Saya baru jelas melihat karakter tokoh lain di bagian akhir cerita. Josie Pye dan Gilbert Blythe, misalnya. Mungkin juga sayanya aja yang telmi. <br />
<br />
Kalimat pertama yang membuat saya terkesan adalah saat Anne menunggu dijemput Matthew di stasiun kereta: “Karena satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah duduk dan menunggu, maka dia duduk dan menunggu dengan seluruh daya dan upayanya.” Haha..benar juga ya, untuk menunggu dengan baik itu memang diperlukan upaya.<br />
<br />
Bab paling lucu adalah Bab Imajinasi Indah yang Berkembang ke Arah yang Salah. Anda harus membacanya sendiri.<br />
<br />
Cerita tentang persahabatan selalu menarik buat saya. Bahkan dalam buku Saman-nya Ayu Utami pun, hal yang paling menarik bagi saya adalah persahabatan 4 wanita di dalamnya. Nah, Anne ini punya sahabat bernama Diana. Suatu hari, Marilla menemukan Anne yang berumur 11 tahun ini menangis tersedu-sedu memikirkan bahwa suatu hari nanti Diana akan menikah dan mereka akan terpisahkan. Sungguh hal yang konyol. Tapi setelah saya pikir lagi, saya juga kadang seperti itu, takut menghadapi apa yang akan terjadi di masa depan.<br />
<br />
<br />
Yang menarik lagi, buku ini dapat kembali mengingatkan saya akan pentingnya politik. Lucu kan? Buku tentang anak-anak <i>kok nyambung</i> ke politik. Saya orang yang tidak terlalu terlibat dalam politik, tapi ada saat-saatnya saya pikir saya harus terjun di dalamnya. Nah, dalam buku ini, terlihat bahwa, hanya dengan melihat wajah murung Anne setiap kiriman pos datang, yang berarti pengumuman kelulusan Akademi Queen belum ada, Matthew mempertimbangkan dengan serius untuk mengubah pilihannya dari Partai Konservatif (yang saat itu berkuasa dan mengurus dewan pendidikan), ke Partai Liberal.<br />
<br />
Banyak hal menarik yang dapat Anda temukan di buku ini. Saya, yang berpendapat bahwa buku bagus itu dapat digolongkan menjadi dua, yaitu buku yang perlu dimiliki dan buku yang cukup dipinjam di perpustakaan, merekomendasikan agar buku ini dimiliki. Bab terakhir membuat saya meneteskan air mata. Anne terus mengalami pertumbuhan sehingga Anne di akhir cerita tidak sama dengan Anne di awal cerita . Mungkin hal itulah yang membuat saya, meski menilai buku ini bagus.Bagus.Dan menarik, tidak tertarik untuk membaca ulang. Bagaimana dengan Anda?<br />
<br />
Oya, saya jalan-jalan ke tempat Erma dan menemukan <a href="http://buku-erma.blogspot.com/2009/07/anne-of-green-gables.html">resensi lain</a> tentang buku ini. Silakan kalau mau baca.Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-35143381451158379532010-09-22T23:30:00.000-07:002010-09-23T18:12:31.158-07:00Ceita Farhan # 3: SandiwaraKembali pada anak imut bernama Farhan. Baru-baru ini diketahui bahwa Farhan memiliki bakat yang tidak jauh berbeda dengan ayahnya: <i>acting</i>. Ceritanya begini:<br />
<br />
Ayah sedang di kantor. Sendirian. Persiapan ujian tengah semester. Posisi Ayah sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum membuat Ayah merasa perlu melakukan pengecekan terakhir sebelum pelaksanaan UTS besok. Tiba-tiba Farhan datang. Sendirian. Ia berjalan kaki ke kantor Ayah yang tidak jauh dari rumahnya. Melihat Farhan datang, Ayah langsung menyuruhnya pulang karena Mama tidak di rumah sementara rumah ditinggalkan tak terkunci oleh Farhan. Selain itu Ayah tahu bahwa Shakira, teman Farhan, akan datang. Kasihan kalau Shakira datang ke rumah dan tidak menemukan siapa-siapa. <br />
<br />
“Farhaaaan! Pulang!” perintah Ayah yang ke sekian kalinya yang tetap tidak diacuhkan Farhan.<br />
“Ga mau ah aku mau main di sini,” Farhan ngeyel.<br />
“Pulang! Nanti Shakira kasihan!”<br />
“Ya Ayah aja yang pulang, bilangin Shakira biar kesini.”<br />
<br />
Ayah yang sudah cukup pusing dengan urusan UTS dibuat makin gemas.<br />
“Farhan gak mau dengar kata-kata Ayah ya!”<br />
”Enggak. Farhan mau main. Aduh, Farhan mau pipis. Pipis sini aja ah,” kata Farhan sambil buka-bukaan.<br />
”Eh Farhan! Jangan pipis di situ! Siapa yang ngajarin? Ayo pulang! Pipis di rumah!” Ayah mulai histeris.<br />
Farhan malah pasang muka ngeledek.<br />
”Farhan mau bikin Ayah marah ya?! Farhan minta disentil ya?!” Ayah mulai tak sabar.<br />
<br />
Di saat yang sama, Mama terlihat di ujung jalan. Berjalan menuju mereka. Farhan menghambur.<br />
<br />
”Mamaaaaaa! Mamaa! Tolong aku Mama!” Farhan mulai melancarkan <i>acting</i>-nya sementara Ayah mengejar di belakangnya.<br />
Ketika sudah dekat, Farhan setengah merengek,<br />
”Tolong Mama! Aku ditampar Ayah! Huhuhu.....” ia pun berpura-pura menangis. <br />
Ayah melihat hanya bisa bengong anaknya berlagak seperti itu.Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-69777133724280741372010-09-22T02:17:00.000-07:002010-09-22T23:25:07.850-07:00Manusia Memang Bisa Merencanakan SajaManusia merencanakan, Allah menentukan. Begitulah. Seperti suatu sore di Ramadhan kemarin.<br />
<br />
Aku telah mengira-ngira agar segalanya tepat. Aku memperhitungkan akan membuat masakan yang terasa sedap, dengan anggaran yang harus kubatasi, pas untuk berdua saja, dan bisa selesai tepat sebelum maghrib saat berbuka puasa sehingga semuanya masih hangat dan segar saat dimakan. Aku juga ingin, saat waktu itu tiba, cucianku sudah terangkat dari mesin cuci dan terjemur di tambang belakang rumah mertua suamiku. Di saat yang sama, lantai rumah juga harus sudah kupel. Dan harusnya aku juga sudah mandi dan berdandan sehingga bisa menyambut suamiku pulang kerja. Lalu kami akan menunggu adzan maghrib bersama, berbuka puasa bersama. Setelah shalat maghrib, kami akan makan malam lalu berangkat tarawih di masjid. Segalanya harus tepat agar efisien.<br />
<br />
Maka kumulai dengan berbelanja di tukang sayur yang membuka kiosnya di seberang jalan. Tadinya aku berpikir bisa membeli bahan-bahan segar di sana, lalu membeli makanan-makanan kaleng atau makanan beku di toko swalayan yang dicapai dengan 3 menit naik angkot. Selain sebagai pelengkap, juga sebagai simpanan jika suatu saat kami telat terbangun sahur atau aku dapat mengajukan alasan masuk akal untuk tidak ke tukang sayur. Ternyata di tukang sayur aku menemukan beberapa makanan awetan seperti baso, cireng siap goreng, otak-otak, nugget, sosis, dll. Jadi aku tidak perlu ke toko swalayan, hemat waktu, ongkos, dan energi.<br />
<br />
Sampai di rumah, aku menghampar bahan-bahan yang kubeli dan berpikir-pikir apa yang bisa kubuat dari bahan-bahan tersebut. Kombinasi baso dengan tahu putihkah? Atau perkedel tahu dan sayur buncis? Apakah otak-otak akan disajikan saat berbuka atau sebagai lauk makan malam? Kuputuskan membuat sebuah kreasi tahu-sosis dan sup baso. Jika sup tidak habis, bisa dimakan lagi saat sahur. Jika tahu-sosis habis malam ini juga, aku akan menggoreng otak-otak untuk sahur.<br />
<br />
Oke, tahu-sosis harus terhidang panas saat berbuka nanti. Maka setelah adonan siap, aku sisihkan dulu dan menggoreng kerupuk. Setelah itu baru kemudian kugoreng tahu sambil mencuci baso yang tadi sudah kuseduh dan mengiris sayuran kecil-kecil. Sebelum selesai menggoreng aku sudah mulai membuat sup. Keduanya siap hampir bersamaan. Lalu aku berlari ke rumah mertua suamiku yang berjarak beberapa meter dari kontrakanku, mengangkat pakaian yang kering dari jemuran dan menjemur pakaian yang masih ada dalam mesin cuci. Kembali di rumah, kucuci perabot lalu mengepel lantai. Setelah menyetel <i>rice-cooker</i> ke indikator <i>cooking</i>, aku mandi.<br />
<br />
Pukul enam kurang sepuluh menit, nyonya rumah sudah cantik dan wangi. Tahu-sosis sudah cukup hangat untuk dimakan. Teh manis panas siap dituang ke gelas-gelas yang telah kuatur di samping tekonya. Brownies tiramisu yang kemarin dibawa suamiku dari Bandung terhidang di piring saji. Lantai rumah sudah wangi dan higienis, seperti yang tertulis di label botol obat pel. Kuperkirakan nasi akan tanak di saat kami akan makan, maka kami bisa makan nasi yang masih segar dan <i>rice-cooker</i> bisa langsung dicabut, hemat listrik. Semua harus efisien. Nyonya rumah duduk manis menunggu suaminya. Muncul godaan untuk mengirim pesan, tapi ia akhirnya memutuskan untuk tetap menunggu saja.<br />
<br />
Pukul enam kurang lima menit, sebuah pesan masuk. Dari suamiku.<br />
<br />
<i>sedang menyimak ust.A*M* bicara</i><br />
<br />
Aku baru ingat, sore ini suamiku diundang buka puasa bersama. Ah……apa pula arti segala usaha efisiensiku ini. Hahaha…Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-49996825467252597712010-09-21T01:36:00.000-07:002010-09-21T01:36:46.109-07:00Cerita FathirDi sekitar rumah kontrakanku, ada beberapa anak kecil. Suamiku, yang mantan guru PAUD itu, memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka. Kalau suamiku sedang tidak di rumah, tidak sekali dua kali mereka datang ke rumah, memanggil nama suamiku, dan mencari kehadirannya. Salah satunya adalah Fathir, berumur tiga tahun, berambut ikal seperti suamiku, berbulu mata lentik, dan bersenyum dingin yang khas seperti ibunya.<br />
<br />
Sore itu suamiku baru saja tiba dari kantornya. Itulah pertama kalinya aku menyambutnya di rumah, berperan sebagai istri. Turun dari motornya, ia pun mengucap salam sambil memberi senyuman yang sangaaat manis.<br />
”Assalammualaikum.”<br />
”Waalaikumsalam.” Aku pun tersenyum. Sedikit ragu, sedikit kaku, sedikit malu. Tadi pagi, sebelum ia berangkat, kami telah melakukan ritual perpisahan. Sepertinya ritual pertemuan pun akan lebih kurang sama. Aku melangkah satu kali mendekatinya, kami pun sudah berhadapan. Kucium tangannya tanda hormat, lalu ia lebih mendekat untuk mencium keningku. Ketika bibirnya mendarat di keningku, kudengar suara Fathir berkata,<br />
”Idiiiiiih...lagi ngapain tu?”<br />
Kami pun menengok padanya dan tertawa. Melihat wajahnya yang dinakal-nakalkan, kami pun tertawa lebih keras. Ah, jadi malu. Ritual pun disudahi.<br />
<br />
**<br />
<br />
Aku dan suamiku suka saling memanggil dengan panggilan yang bagus-bagus, termasuk “sayang”. Contohnya “Sayang mau teh tidak?”, “Istriku sayaaaang..”, “Sayang, tolong tutup jendelanya”, “Hati-hati bawa motornya ya yang!”, dan sebagainya. Di lokal petakan kontrakan kami, mungkin hanya aku dan suamiku yang seperti itu. Pasangan lain saling memanggil nama, atau sapaan orang tua seperti mama, ayah, ibu. Kalau pergi ke warung, jidat kami ini seperti ada stempelnya: Pengantin Baru.<br />
<br />
Fathir mempunyai teman baik bernama Dwi. Rumah Dwi hanya berjarak satu rumah dengan rumahnya. Pagi-pagi baru bangun tidur pun Fathir bisa langsung mengajak Dwi bermain. Nah, pagi itu Dwi tidak terlihat di depan rumah. Mungkin masih tidur karena malamnya ia demam. Sementara Fathir sudah rapi, sudah mandi, ditandai dengan bedak yang membalur di keningnya. Tak sabar menunggu, Fathir pun memanggil,<br />
“Duwwi........”<br />
Tak ada jawaban.<br />
“Duwiiiii, main yuuukk.......”<br />
Tetap sepi. <br />
Fathir pun mencoba lagi,<br />
“Dwi sayaaaaang...... oh, Dwi sayangkuuuuuuuuuuu”<br />
Aku pun tergelak.<br />
<br />
<br />
**<br />
<br />
Ahad di bulan Juni. Makan siang sudah tersedia. Hanya menu sederhana. Olahan dari telur dan makanan beku siap saji. Kutata di ruang depan. Lauk dan air. Piring, gelas, dan sendok. Terakhir panci magic com berisi nasi hangat. Alhamdulillah. Sungguh bersyukur kami memiliki makanan. <br />
<br />
Suamiku duduk di sebelah kananku, menghadap ke pintu. Fathir lewat. Suamiku pun memanggil,<br />
“Hei Fathir. Sudah makan belum? Makan yuk sama Om!” <br />
”Engga ah, Fathir udah makan.”<br />
”Pakai apa?”<br />
”Pakai ayam”<br />
”Oh, ya udah. Om sama tante makan dulu ya?!”<br />
Fathir mengangguk.<br />
Aku lalu menyendokkan nasi ke piring suamiku dan kuserahkan padanya. Sementara ia mengambil lauk, aku menyendokkan nasi ke piringku. Tiba-tiba Fathir berkata,<br />
”Om mau disuapin yaaaaa?” sambil menunjuk ke suamiku dengan wajah menggoda.<br />
Kami yang belum mengerti maksud Fathir pun menjawab,<br />
”Enggak dong. Kan udah gede. Suap sendiri. Fathir juga ya, kalo makan suap sendiri, apalagi kalo ibu lagi repot.”<br />
“Iya Fathir, kalo udah gede suap sendiri, kayak abang Fathir.”<br />
Tak disangka, Fathir menjawab,<br />
“Ah, waktu itu om disuapin. Hayoooo ooom...waktu itu Fathir liat om disuapin sama tante. Iya kaaaan....?”<br />
Kami pun tertawa sambil meringis, bertanya-tanya, kapan ya dia melihatnya, adegan apalagi yang telah ia tangkap melalui jendela rumah kami. Haha....Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-55045778648696832392010-09-21T01:28:00.000-07:002010-09-21T01:28:39.555-07:00Ojek MesraMalam belum begitu larut. Aku berdiri di depan lobby rumah sakit setelah menebus resep untuk kakakku. Sebuah sedan melintas di depanku, pengemudinya memasukkan karcis parkir ke kantongnya sementara jendela mobilnya otomatis menutup. Lalu beberapa motor juga melewatiku. Kebanyakan berboncengan. Petugas parkir dan satpam bekerjasama mengarahkan pengendara motor yang mau keluar agar melalui jalur yang benar. Sebagian mereka memilih jalur pintas yang menerabas jalur masuk. Seorang pengendara motor membawa tunggangannya meliuk-liuk, zigzag, mendahului motor-motor lain dan deretan mobil yang antri ke lahan parkir lebih dulu. Untung sudah di rumah sakit, pikirku.<br />
<br />
Lalu kulihat seorang laki-laki meluncur keluar dari tempat parkir ke arahku. Berhenti di depanku.<br />
“Ayo neng, diantar…sampe Kepangan?” katanya ramah, penuh senyum.<br />
“Berapa bang?” tanyaku.<br />
“Tiga ribu,” jawabnya. Masih dengan senyum yang penuh.<br />
”Wah murah...ayolah,” sambutku. Tarif demikian terhitung sangat murah untuk ukuran jarak dan kebiasaan di tempatku. Tapi lalu laki-laki itu berkata,<br />
”Tapi tidurnya sama saya ya neng!”<br />
#@$%^&**@#$%^<br />
<br />
Untung yang ngomong gitu suami sendiri.. :DWinyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-21463050387822660662010-08-21T02:51:00.001-07:002010-08-21T02:51:49.070-07:00Dapatkah?Dapatkah kita mengucapkan subhanallah (atau dzikir-dzikir yg lain) dengan kita maksudkan dalam hati agar ucapan itu bereksponen? Karena kita sungguh-sungguh ingin mengucapkan itu berulang-ulang tapi sekaligus merasa tak akan sanggup dan rasanya tak akan pernah cukup lidah ini melafazkannya atas hal yang menyebabkan kita mengucapakan lafaz dzikir itu, agar dapat menyepadani hal yang menyebabkan kita mengucap itu.<br />
<br />
Contohnya, saat saya memandang keluar pintu kantor saya hari ini. Sungguh pemandangan menakjubkan yang saya dapat. Saya sengaja menyeret meja kecil ke dekat pintu agar dapat melihat ke pemandangan di luar setiap saya mau, setiap jeda mengetik pekerjaan kantor. Dan saat saya duduk di belakang meja, dengan melirik ke arah jam 11 saja saya sudah dapat melihat ke luar. Pemandangan yang saya lihat adalah… ah saya tak dapat menggambarkan keindahannya. Jika saya tulis di sini mungkin hanya sebatas lengkung-lengkung batang bambu yang susul menyusul, beberapa pohon pisang di sisi kanan, beberapa pohon petai yang tinggi dan berdaun kecil-kecil, sedikit nyiur melambai-lambai di sana-sini, tanaman pagar tanpa tali putri, dan sebuah tumbuhan yang saya tidak tahu namanya tapi mengingatkan saya pada Flakers, makhluk dalam acara seri anak-anak “Bing and Bong”. Semuanya bergoyang, melambai, mengangguk, menggeleng, menari, sesuai hembusan angin yang bertiup sepoi-sepoi. Dan semuanya dilatar belakangi laut bagian dari Selat Sunda pembelai Rakata, biru, tenang, memberi garis horizon yang membatasi dirinya dengan langit. Langit memberi biru yang lain. Padanya ada awan-awan yang seakan semua ini ada yang melukisnya dengan penuh dedikasi. Awan itu putih, tapi di banyak sisi ia mengikuti kanvas langitnya memberi gradasi biru yang lain lagi. Dan semua begitu indah karena disirami cahaya yang cerah dari mentari yang hangat. <br />
<br />
Oke, seperti yang saya sudah tuliskan, saya tidak mampu menuliskan semua keindahan ini dengan baik. Tidak mampu menggambarkan keindahan yang sangat ini. Tapi saya dapat menuliskan, bahwa semua ini membuat saya ingin mengucapkan ini berkali-kali, berpuluh kali, beratus kali, beribu kali, atau sebanyak apapun hanya agar pantas bagi saya sebagai seorang hamba yang telah begitu beruntung diberi pemandangan ini, untuk menyepadani pemandangan ini. Kata-kata apakah yang pantas saya ucapkan memandang ini semua? Hanya dzikir. Hanya tasbih yang bisa saya lafazkan. Tapi saya tak tahu harus berapa kali. Berapa kali untuk menyepadani ini semua? Kalau pun saya tahu jumlahnya, mungkin saya tak akan pernah sanggup mengucapkan tasbih sejumlah itu. Bisakah kita mengucapkan itu semampu kita, dan dalam hati, sungguh aku ingin kata-kataku itu, tasbihku itu, bereksponen. <br />
<br />
<i>Semua di langitMu<br />
Semua dalam lautMu<br />
Setiap hati mendamba cintaMu<br />
Allah Allah hanya Allah…</i><br />
(Beruntunglah -Opick)Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-45212674092945485112010-08-21T02:48:00.000-07:002010-08-21T02:48:12.988-07:00Resep ObatBaru pertama kali deh kejadian kayak gini. Langsung cerita aja ya. Saya kan diminta ibu saya untuk menebus resep obat untuk kakak saya. Kemarin sore ibu mengantar kakak memeriksakan kesehatan di RS SA, tapi karena tidak pede dengan uang yang dibawa, akhirnya ibu tidak langsung menebus resep yang dibuatkan oleh Pak Dokter dan hari ini meminta saya menebusnya. Saya dan suami pergi ke apotek terdekat dari rumah. Dari enam jenis obat yang tercantum dalam resep, hanya tersedia tiga. Kuputuskan tetap kutebus, daripada tidak sama sekali. Setelah itu kami pun pulang karena belum shalat.<br />
<br />
Usai shalat, kami kembali nangkring di atas motor, mencari apotek lain di sekitar rumah. Apotek kedua yang kami datangi terlihat cukup besar dan letaknya cukup strategis. Perkiraanku, mungkin lebih lengkap. Ternyata, setelah resep diterima apoteker dari resepsionis, saya menerima gelengan kepala. Tak ada satu pun dari tiga jenis obat yang belum tertebus tersedia di apotik itu. Kami tidak punya stoknya, kata mereka. Kami pun menuju RS MA yang terletak sekitar seratus meter dari apotik tersebut. Rumah sakit tentu lebih lengkap, pikirku.<br />
<br />
Saya memasuki <i>lobby</i> rumah sakit dan bertanya pada resepsionis di mana bisa menebus resep. Meski sudah beberapa kali menggunakan layanan rumah sakit ini, saya belum pernah menebus resep yang tidak dikeluarkan oleh mereka di sini. Resepsionis menunjukkan saya bagian farmasi yang biasa. Saya pun memberikan resep saya di loket farmasi. Saya jelaskan beberapa obat sudah ditebus dan obat-obat yang mana saja yang belum ditebus. Saya sebenarnya sudah diberi tau bahwa petugas apotek pasti mengerti dengan simbol-simbol yang ditulis apoteker di apotek pertama, namun saya mencoba memastikan saja. Sebelum saya selesai menjelaskan, petugas loket sudah mengangguk-angguk dan mengiyakan. Saya anggap dia memang sudah mengerti.<br />
”Silahkan tunggu,” katanya.<br />
Saya pun menunggu. Di deretan kursi di ruang tunggu. Suamiku menghampiri selesai memakirkan motornya.<br />
Agak lama.<br />
...............<br />
“Tuan Andu!” resep atas nama kakakku diumumkan. Saya pun bergegas.<br />
”Ya.”<br />
Sampai di loket, kulihat yang melayaniku berbeda dengan yang tadi menerima resep. Yang ini terlihat lebih tua dan lebih tegas. Perhatikan jawabannya.<br />
”Mbak, maaf, kami tidak bisa membaca resep ini.”<br />
Dikatakan dengan nada profesional. Terdengar di telingaku seperti mustahil.<br />
”Bagaimana Mbak? Tidak bisa dibaca?” kuperhalus pertanyaanku, tapi hasrat tertawa hampir tak tertahan.<br />
”Iya mbak. Maaf kami tidak bisa membaca tulisan di resep ini. Saran saya ditebus di rumah sakit yang mengeluarkannya,” si petugas masih dengan gaya (sok) profesional.<br />
”O begitu, baik mbak. Kami hanya mencoba cari yang terdekat,” saya mengangguk (sok) paham sambil nyengir.<br />
Saya mengucapkan terima kasih dan pamit.<br />
<br />
Sampai di samping suami saya di kursi ruang tunggu, saya meringis sambil pasang tampang percaya-gak-sih. Kami pun memutuskan untuk ke RS SA yang mengeluarkan resep tersebut. Di atas motor, suami saya bilang,<br />
”Baru pertama kali Mas ngeliat kasus kayak gini. Apoteker gak bisa baca resep!”<br />
Yah, ini juga pertama kalinya buat saya. Yang mengherankan, dua apotek sebelumnya tidak mendapat kesulitan macam itu. Ada yang tau kenapa? Ada yang percaya kalau apa yang dikatakan apoteker RS MA itu jujur?<br />
<br />
Kecurigaan saya adalah, sebenarnya RS MA tidak memiliki obat-obatan tersebut, sama dengan apotek-apotek sebelumnya, namun malu mengakuinya sehingga mencari alasan seperti itu. Dari mana dapat alasan itu? Mungkin mencoba memanfaatkan pendapat umum di masyarakat bahwa tulisan dokter sulit dibaca. Tapi ya ampun, ini keterlaluan. Dua apotek sebelumnya tidak mengeluhkan hal itu. Saya lihat huruf-hurufnya juga tidak terlalu ”cakar ayam”, hanya saja saya tidak mengerti simbol dan istilah medis di dalamnya. RS MA mungkin kehilangan pasiennya saat RS SA-yang lebih besar, lebih terlihat bersih, dan lebih gencar promosinya-dibuka. Tapi saya masih termasuk pasiennya yang cukup setia. Dan rasanya cara seperti ini menggelikan sekali bagi saya. Apa salahnya mengatakan hal yang sebenarnya? Apakah gengsi lebih penting daripada tujuan semula, meningkatkan kualitas kesehatan manusia? Ataukah saya salah dengan menebus resep obat dari RS yang satu di RS yang lain?<br />
<br />
Sampai di RS SA, saya julurkan resep ke petugas penerima dan mengatakan bahwa sudah ada obat yang ditebus. Tidak butuh sampai tiga detik, penerima resep pun menjawab,<br />
”Oke, jadi tinggal Pro******, Sa****, dan Za**** aja ya? Baik, silahkan tunggu sebentar ya Bu, ini nomor antriannya.”<br />
Ha! <i>Any other explanation?</i>Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-47097885605616418922010-07-20T22:07:00.000-07:002010-07-20T22:11:30.350-07:00Gara-gara Rok SajaPagi itu cukup cerah. Aku bersyukur mendapat tempat duduk di bis Tangerang- Bogor yang melaju malas-malasan. Hari ini aku berniat ke Parung, mengunjungi sekolah asuhan Dompet Dhuafa Republika, Smart Ekselensia. Biasanya bis tiga perempat ini sudah penuh ketika sampai di halteku. Alhamdulillah, hari ini aku tak perlu berdiri hingga ke tempat tujuan. Apalagi pasar yang tumpah di rel kereta Serpong memberi kesempatan pada para supir untuk semakin melambat, menambah koceknya dengan menunggu tambahan penumpang, memacetkan.<br />
<br />
Kernet bis mulai mengumpulkan ongkos para penumpang. Aku pun membayar. Delapan ribu. Seperti biasanya. Walau tak terlalu lancar, akhirnya aku sampai di Zona Madani, lingkungan tempat Sekolah Smart Ekselensia. Di sekolah itu aku bertemu rekan semasa kuliah dulu yang konsisten menggeluti bidang yang kini menjadi duniaku. Tukar menukar info, berbagi pengalaman, observasi ini-itu, hingga waktu pulang pun tiba. Berdua dengannya, aku berdiri di pinggir jalan menunggu bis yang akan membawaku kembali ke Tangerang. Menunggu cukup lama di bawah gerimis yang jarang-jarang, akhirnya bis itu datang. Aku naik, sementara rekanku sudah lebih dulu naik angkot jurusan lain. Begitu duduk, kernet meminta ongkosku. Kuberikan selembar sepuluh ribuan. Diberi kembalian lima ribu. Hm? Gak salah nih? Aku pun melihat ke arah kernet seakan meminta penjelasan. Jangan-jangan ketika berangkat aku membayar lebih dari seharusnya, mungkin tarif ongkos sudah turun mengikuti penurunan harga bensin. Aku tak tau persis karena aku jarang naik bis bertrayek muter-muter ini. Atau kernet salah memberi kembalian? Salah orang, tidak mungkin, karena tidak ada yang membayar bersamaan denganku. Salah jumlah, sangat mungkin. Kucoba memikirkan kenapa kernet itu bisa salah. Ah, tentu. Tentu saja. Pasti karena itu. Baru kusadari hari ini aku memakai paduan baju seperti anak sekolah, rok abu-abu, blus putih, jilbab biru keabu-abuan. Ahahah...... jilbab saya memang bermotif, tapi bagi yang tidak awas bisa saja tertipu. Lagipula sekarang sudah banyak siswi yang berani memakai jilbab bermotif ke sekolah selama sekolahnya tidak menegur. Ya, kernet itu pasti mengira saya anak SMA. Hihihi...<br />
<br />
Ternyata tak hanya sekali itu. Suatu saat saya berangkat ke tempat kerja, di hari kerja. Rok abu-abu, jilbab putih, baju biru terbalut jaket pink. Untuk mencapai tempat kerja, saya harus naik ojek sejauh delapan setengah kilometer. Tak ada angkot. Turun dari angkot yang telah membawa saya dari Cilegon, tukang ojek pun langsung bersiap di atas motornya. Saya segera naik ke motor yang terdekat. Mesin motor itu sudah dinyalakan saat saya membayar ongkos, tapi ketika saya sudah duduk di atas jok dan siap meluncur, mesinnya justru mati. Tukang-tukang ojek yang lain pun bersorak, ”Ulah ngedegdeg di hareupeun perawan!”* Ah, perawan. Saya jadi tersenyum. Perawan. Bagaimana reaksi suami saya ya kalau mendengarnya, hee..... Di tengah perjalanan si abang ojek bertanya,<br />
”Dari mana neng?”<br />
Hm, tumben saya dipanggil neng, biasanya bu.<br />
”Dari Cilegon.”<br />
Seperti biasa, pertanyaan berikutnya pun,<br />
“Mau ke mana?”<br />
“Ke En Ef”<br />
”Oo, En Ef. Ini baru berangkat?”<br />
“Iya bang.”<br />
Saat itu saya tak berpikir jauh. Saya pikir ini basa-basi biasa. Tak disangka, saat motor memasuki kompleks sekolah, abang ojek membelokkan motornya menuju lokal SMA. Ah lagi-lagi.. Gara-gara pakai rok abu-abu saya dikira anak SMA.<br />
<br />
Tak cukup dengan dua kejadian itu, kejadian berikutnya lebih mengherankan lagi. Masih berurusan dengan ojek. Di atas ojek dalam perjalanan ke kantor siang itu, si abang bertanya,<br />
”Darimana neng?”<br />
Klasik.<br />
”Cilegon”<br />
”O ini dari Cilegon. Sekolah di mana?”<br />
Pertanyaan yang dalam benak saya pasti berarti: kerja di sekolahan mana?<br />
“En Ef” jawab saya.<br />
Saya rasa dia mengangguk-angguk sambil mengendalikan motornya, berkata<br />
“Ooo SMP En Ef......”<br />
Heeeeeh...? Kok SMP? Saya refleks melihat ke rok saya. Biru dongker. Halaah.....<br />
<br />
<br />
*jangan grogi di depan perawanWinyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-57598860966993660912010-07-20T22:04:00.000-07:002010-07-20T22:04:55.888-07:00Cerita Ayah FarhanAyah Farhan sedang duduk di kursi taman yang menghadap ke lapangan basket. Angin sore bertiup sepoi-sepoi. Rumpun-rumpun bambu tetap tegak, namun daun-daunnya berkibas-kibas cepat. Sebagian melepaskan diri, terbang melintir-lintir dengan genitnya. Beberapa tanaman hias mewarnai pandangan. Mawar, kembang sepatu, dan bebungaan lain dalam pot tertata rapi. Ayah merasa butuh relaksasi sore ini. Ia baru selesai mengikuti pelatihan guru. Ah, betapa beratnya menjadi guru. Untuk mengajar saja, butuh banyak ketrampilan. Apalagi kalau kita ingin mempertahankan idealisme kita akan sebuah arti pendidikan. Banyak guru yang tidak mengerti teori pengajaran yang baik. Banyak juga yang tau, tapi tidak diaplikasikan. Ingatannya pun melayang pada kenangan saat dia masih kuliah, saat idealisme dibangun.<br />
<br />
Mata kuliah yang satu ini wajib diambil. Meski berlangsung di siang hari saat kantuk paling garang menyerang, kelas tetap penuh oleh mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Dosen memasuki kelas.<br />
”Oke, karena ini mata kuliah teater, saya mau tau dulu, siapa saja yang sudah paham tentang teater?”<br />
Tidak ada yang mengangkat tangan.<br />
”Tidak ada? Kalian ini bagaimana? Bagaimana saya bisa ngajar kalau kalian tidak punya dasar tentang mata kuliah ini? Harusnya kalian sudah mempelajari sebelum masuk kelas. Sudah, saya tidak bisa mengajar kalau begini. Pelajari dulu tentang teater.” <br />
Dosen pun melenggang keluar.<br />
<br />
Pertemuan berikutnya, mahasiswa sudah siap.<br />
”Oke, sekarang, siapa yang sudah paham tentang teater?”<br />
Semua mahasiswa mengangkat tangan.<br />
”Sudah paham semua?”<br />
”Iya Pak”<br />
”Lalu apalagi yang perlu saya ajarkan? Kalau sudah paham semua ya sudah.”<br />
Dosen kembali melenggang keluar.<br />
Mahasiswanya mulai gemas. Jengkel.<br />
<br />
Pertemuan ketiga, mahasiswa telah menyiapkan strategi.<br />
“Baik, siapa di sini yang benar-benar sudah paham teater?”<br />
Sebagian mahasiswa mengangkat tangan, sebagian tidak.<br />
”Nah, yang sudah paham silahkan mengajarkan pada yang belum paham. Saya keluar dulu.”<br />
Yeeeee.....kapan ngajarnya?<br />
<br />
Tersenyum-senyum, Ayah Farhan pun segera sadar waktu maghrib hampir tiba.Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-37155375728124978582010-03-18T21:09:00.000-07:002010-03-18T21:09:52.383-07:00Cerita Farhan #2Farhan adalah anak berumur 4 tahun yang lincah. Ia mudah akrab dengan orang lain. Seperti anak lainnya, rasa ingin tahunya begitu besar. Jika ada orang-orang yang menarik baginya, ia akan mendekati, memperhatikan sambil menopang pipinya dengan telapak tangan, jika orang tersebut melakukan sesuatu yang menarik baginya, ia akan segera merespon. Tak peduli ia kenal orang itu atau tidak.Sehingga orang-orang pun tertarik padanya.<br />
Kadang Farhan berjalan sambil berceloteh-celoteh sendiri. Mungkin dia punya teman khayalan. Farhan juga responsif terhadap musik. Badannya lincah sekali menari kalau ada musik, mimik mukanya yang seakan begitu menghayati, goyang pinggulnya, tangannya, ah, semua menarik hati dan begitu lucu.<br />
<br />
Karena lucu dan menggemaskan, Farhan sering kali disapa dan diajak bermain bersama. Kalau sudah mengajak main Farhan, orang-orang dewasa juga suka memintanya menari.Dan kalau Farhan sudah menari, orang-orang akan berkumpul "menontonnya". Ternyata ada seseorang yang justru kasihan melihatnya. Lalu ia bertanya pada Ayah Farhan, "Pak, gimana perasaannya melihat anak bapak seperti itu? Malu gak pak?"<br />
Ayah Farhan pun menjawab, "Enggak bu. Waktu kecil saya juga sering begitu. Malah pernah ada yang manggil saya di jalan, trus saya disuruh begitu, eh saya dikasih uang!"<br />
Hyaah....dia ditanggep. :DWinyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-10205012058505749862010-03-18T20:05:00.000-07:002010-03-18T20:05:56.757-07:00Bawa UangDi tempat saya yang baru, orang-orang tidak perlu membawa uang kemana-mana. Bukan karena sistem uang plastiknya sudah canggih, tapi karena transaksi jarang terjadi. Mau makan, sudah disediakan 3 kali sehari. Mau ngemil di kantor, juga sudah tersedia. Mau cemilan lain, pilihan tidak banyak, sementara jarak penjualnya berjauh-jauhan (berjualan di rumah masing-masing), atau kepadatan aktivitas yang tidak sempat memikirkan cemilan lain. Mau beli keperluan kantor, minta bendahara. Pasar lumayan jauh, mall jauh banget. Beli baju dari teman kerja, bisa bayar pas gajian. Bayar arisan dan sekolah anak pun sudah diurus kantor penggajian. Transportasi tinggal jalan kaki, naik mobil yayasan, atau ngojek dengan dibiayai kantor (kalau urusan kantor). Jadi, di tempat saya, selama masih berada di kampung Cihideung, kemana-mana tidak bawa uang tidak masalah. Saya pun ikut terbiasa tidak membawa uang kemana-mana. Paling selembar sepuluh ribuan saja untuk jaga-jaga. Kadang tidak membawa uang sama sekali.<br />
<br />
Suatu hari, sekelompok guru yang tergabung dalam Tim Pembinaan Siswa ditugaskan ikut rapat di kantor pusat di Jakarta. Mobil milik yayasan mengantar mereka, plus supirnya. Sampai KM 45, mereka berhenti di SPBU dan mengisi tanki bensin. Sesudah bensin terisi penuh, Pak Rian merogoh kantongnya untuk mengambil dompet, hendak membayar bensin. Wah, ternyata dompetnya tertinggal di rumah. "Ada yang bawa duit ga?" tanyanya pada penumpang yang lain. Pak Harun menggeleng. Bu Yuni menggeleng. Bu Rahma menggeleng. Pak Kus menggeleng. Biasanya, kalau tugas ke kantor pusat juga tidak perlu bawa uang, kalau tidak berniat beli oleh-oleh buat orang rumah. Transportasi jelas ditanggung, makan juga, jadi buat apa bawa uang. Semua orang masih membawa kebiasaan di Cihideung. Pak Cecep sang pemegang setir pun jadi bengong. Jadi siapa yang bayar inih?<br />
<br />
Akhirnya semua orang membongkar tas, kantong, dan dompetnya. Sedikit-sedikit uang dikumpulkan, akhirnya cukuplah untuk membayar bensin. Sementara niat ke toilet ditahan dulu selama bisa ditahan. Khawatir dimintai uang kebersihan oleh pengurus toiletnya, hehe....Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-57925756722851929472010-03-18T01:28:00.000-07:002010-03-18T01:28:58.850-07:00Cerita FarhanFarhan berumur 4 tahun, masih duduk di TK A. Punya teman bernama Caca. Caca punya banyak sekali VCD Ultraman. Jadi setiap main ke rumah Caca, tivinya pasti bergambar Ultraman. Satu CD bisa diputar berulang kali dalam satu hari. Berbeda dengan Caca, Farhan lebih tertarik pada Power Rangers. Jadilah ia minta dibelikan VCD Power Ranger pada Ayah.<br />
<br />
Untuk membeli VCD Power Ranger, Ayah harus menempuh jarak minimal 9 km. Itu pun kemungkinan mendapat VCD bajakan. Tapi demi putra kesayangannya, Ayah pun berangkat.<br />
<br />
Pulangnya, Ayah segera mengajak Farhan menyetel VCD Power Ranger. Farhan pun tak sabar. Seperti biasa ia berekspresi macam-macam, begitu lincahnya. VCD berputar, film pun dimulai. Setelah beberapa menit, mulailah adegan Power Ranger melawan monster. Mereka menendang, menyabet pedang, meluncurkan sinar, dan segala kesaktian lainnya. Farhan berteriak-teriak, bukan karena merasa seru, tapi, "Heeei, berhenti! Berhenti! Gak boleh berantem! Kata bu guru gak boleh berantem!"<br />
<br />
Akhirnya Farhan meminta Ayah mematikan VCDnya. Kata bu guru kan gak boleh berantem, begitu argumennya. VCD yang bertulis 7 in 1 itu pun harus dihentikan pada kisah pertamanya dan tersimpan rapih hingga sekarang.Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-89288274041827188712010-03-03T17:04:00.000-08:002010-03-03T17:04:34.465-08:00Pssst....Psst.....<i> can you hear it?</i><br />
There's summer parade in my heart ^_~Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-22148788143133751642010-02-03T17:11:00.000-08:002010-02-03T17:11:14.342-08:00Hafal Al-Qur'an?Pagi ini saya tergesa-gesa berjalan menuju lapangan di depan masjid. Sebenarnya saya malu masuk dalam barisan apel, karena sudah terlambat (sebenarnya terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali, bukan pembenaran, tapi kenyataannya tidak semua guru atau pegawai mau berapel ria di pagi hari yang cukup dini begini, bahkan pagi ini saya lihat hanya sekitar 5 orang saja dalam barisan). Tapi mau tidak mau saya harus ke lapangan, untuk menemui para siswa dan menyerahkan lembaran-lembaran soal yang dititipkan seorang guru untuk kelas 9c. Saya sempat khawatir saya tak dapat menemukan mereka. Saya belum terlalu kenal, karena jarang berinteraksi dengan para siswa. Biasanya, mereka yang menemukan saya.<br />
<br />
Ah, ternyata sekarang begitu juga. Tiba-tiba sekelompok siswa mendatangi saya dan memanggil-manggil nama saya. Saya senang tak perlu susah-susah mencari mereka. Yang saya cari, mendatangi saya. Takzim mereka mencium tangan dan memberi salam. Lalu mereka bersikap sangat "ramah" tak seperti biasanya. Cengar-cengir yang pasti ada maksud di baliknya. Akhirnya mereka bicara. Intinya, mereka meminta saya untuk menjadi mentor karena mentor mereka, <a href="http://eramuslim.com/berita/bincang/oni-sahroni-doktor-pertama-bidang-fiqh-mukarin-dari-al-azhar.htm">Ustad Oni</a>, sedang berada di Mesir untuk penyelesaian studinya. Oh, saya berkata dalam hati, tantangan baru nih. "Mentor apa?" tanya saya. "Mentor hafalan Qur'an. Nanti kita setor hafalan ke Ustadzah (maksudnya saya, pantes gak saya dipanggil ustazah?)," jawab mereka. Aduh! Bagaimana mungkin? Saya malah yakin hafalan mereka, para santri, lebih banyak daripada hafalan saya. Again, bagaimana mungkin? <br />
<br />
Melihat saya terdiam, mereka bertanya, "Sibuk ya Zah?". Oh, sebuah jawaban standar para guru dalam menolak permintaan siswa, dan memang gejala yang biasa pula di tempat ini sehingga para siswa sudah mafhum. Bagi saya, ini juga sebuah bentuk husnudzan dari para siswa terhadap gurunya yang gak ada apa-apanya ini. "Saya pikir-pikir dulu ya?" akhirnya saya menjawab, sambil berniat mencari tau, kelas 9 itu rata-rata hafalannya sudah sampai mana ya. <br />
<br />
<div style="text-align: center;"><br />
</div><span id="main" style="visibility: visible;"><span id="search" style="visibility: visible;"> <i>“Orang yang tidak mempunyai hafalan Al-Qur`an sedikit pun adalah seperti <em>rumah kumuh yang mau runtuh</em>.” (HR <em>Tirmidzi</em>)</i></span></span><br />
<br />
<span id="main" style="visibility: visible;"><span id="search" style="visibility: visible;">T_T hiks...hiks...<i> </i></span></span>Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-64470819686957829542010-01-30T01:08:00.000-08:002010-01-30T01:08:15.200-08:00ATPSeorang guru bertemu dengan seorang anak yang meraih medali emas Olimpiade Sains Internasional. Kata guru yang lain, "Dia itu bu, tahun kemarin sudah dapat perak!". Yang berarti, kelas 1 SMP saja, saat baru lulus SD, saat teman-temannya masih berpikir soal main dan adaptasi dari SD ke SMP, dia sudah meraih perak. Ga heran kalo tahun ini dia begitu cemerlang.<br />
<br />
Sang guru bertanya pada guru sang anak, "Dia punya temen ga pak?"<br />
Guru sang anak menjawab, "Engga."<br />
<br />
<br />
Maka....<br />
<br />
Sang guru mendekati sang anak. "De', nama kamu siapa?"<br />
Sang anak menjawab, "Andira Teguh Pratomo*"<br />
Sang guru bertanya, "Kamu tau ga, kalo disingkat jadi apa?"<br />
Sang anak mengangguk, "Tau. ATP kan bu? Adenosin trifosfat. Bentuk yang umum di mana energi disimpan dalam sistem kehidupan. terdiri dari nukleotida dengan gula ribosa dengan tiga gugus fosfat."<br />
Sang guru diam. *Ih, susah juga ya ngobrol sama anak pinter. Gw aja ga kepikiran sampe situ*<br />
<br />
<br />
<br />
*namanya saya samarkan ya.Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-48813581901817470412010-01-30T00:45:00.000-08:002010-01-30T00:45:30.437-08:00Laughing at Herself<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kemarin sore, menjelang maghrib, bos yang baru tiba dari perjalanan menemui saya. Intinya, mengulang informasi yang saya dapat beberapa jam sebelumnya dari sang sekretaris. Hari ini saya diminta presentasi di depan para tamu dari sebuah kampus. Presentasinya, bukan tentang unit yang saya pegang saja. Tapi mewakili keseluruhan bidang alias departemen. Yang berarti saya mewakili beliau ini. Saat sang sekretaris selesai memberitahukan, dia bertanya, "Bisa ga?". Saya jawab, "Lah, kalo ga bisa emang gimana?". Ia balas, "Ya harus bisa!". Mudah ditebak.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Maka tadi malam, saya berniat begadang. Dengan dibekali file seadanya dari unit-unit lain, saya mau buat presentasi yang sama sekali baru, bukan warisan dari siapa-siapa. Tapi ternyata badan saya yang telah saya bawa kerja di kantor selama 12 jam, tak cukup kuat diajak begadang. Jadilah saya tidur saat hari ini baru dimulai setengah jam. Pekerjaan saya juga baru selesai setengah. </div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tadi pagi, dengan menyingkirkan pekerjaan lain, menunda jadwal training para guru, saya kebut saja pekerjaan yang setengah lagi. Bahkan saat ada trouble dalam pelatihan karyawan di ruang yang saya kelola, saya cuek saja. Sebelum para tamu datang, presentasi saya selesai, sempat pula di cek oleh sang bos dan dapat pujian dari bos yang emang dari sononya murah pujian. Pe de lah saya. </div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tamu datang, sambutan dari sini dari situ, tiba giliran saya. Sejak awal, semua berjalan lancar, meski suara sedikit bergetar saya tetap mengacu pada prinsip-prinsip presentasi yang baik. Dan dari wajah-wajah audiens, saya tau presentasi saya cukup menarik untuk membuat mata mereka tetap terbuka dan mulut mereka tidak menguap. Slide demi slide saya tayangkan. Slide pertama, kedua, dan seterusnya, oke. Saat saya masuk ke bagian inti, saya terkejut. Ternyata saya salah memindahkan file dari komputer ke laptop. File yang saya tayangkan justru file yang saya kerjakan tadi malam, yang masih separo, yang memang nama filenya saya bedakan dengan yang tadi pagi, beda di angka. Yang satu "pre", yang lain "pre1" Blank abis lah saya. Di depan podium saya freeze saja LCD projector dan menceracau tak jelas menuangkan semua yang saya tau tentang departemen ini. Saat saya mengusaikan presentasi, sang bos, yang bertindak sebagai moderator, mengucapkan terima kasih pada saya di podium karena menggunakan waktu dengan tepat, sesuai jadwal, tidak melebihi seperti pembicara lain. Sepertinya beliau menyadari keanehan (pastinya, dia kan sudah ngecek presentasi saya) maka diambil alihnya bahkan sebelum saya mengucap salam pada audiens. </div><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sekarang, para tamu sudah pulang. And I'm laughing at myself out loud. Buahahahahaha............</span>Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-59245126740613772282010-01-28T18:47:00.000-08:002010-01-28T19:01:52.280-08:00Nyanyian KasmaranSaya dan teman-teman serumah sedang menyukai lagu-lagu <a href="http://ebietgade.com/">Ebiet G. Ade</a>. Kalau teman-teman guru harus begadang mengerjakan RPP (<a href="http://medlit.glorianet.org/mengajar-mengubah/images/download/RencanaPelaksanaanPembelajaran.pdf">Rencana Pelaksanaan Pembelajaran</a>), kalau ada buku yang ingin segera kami habiskan, atau jika mata menyalang tak mau ditidurkan karena badan lelah bekerja sepanjang hari alias kumat insomnianya, kami akan menyetel lagu-lagu tersebut. Lagu Pak Ebiet cocok di telinga teman-teman penggemar nasyid (yang tidak cocok mendengarkan lagu <a href="http://bryanadams.com/">Bryan Adams</a>), sesuai di telinga teman-teman penggemar musik pop (yang lebih memilih menikmati <a href="http://thecorrswebsite.com/">The Corrs</a> daripada dibuat ngantuk <a href="http://www.ilike.com/artist/Brothers">Brothers</a>), dan masuk di telinga saya yang kesukaan terhadap musik tidak bergantung pada genrenya.<br />
<br />
Salah satu lagu Pak Ebiet yang bisa membuat saya ikut bernyanyi adalah Nyanyian Kasmaran. Saya tuliskan liriknya di sini ya, semoga Anda juga suka :)<br />
<div style="font-family: arial,sans-serif; font-size-adjust: none; font-size: 18px; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: bold; line-height: 1.25em; text-align: left;"></div><div style="font-family: arial,sans-serif; font-size-adjust: none; font-size: 18px; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: bold; line-height: 1.25em; text-align: left;"><br />
Nyanyian Kasmaran</div><br />
<div style="font-family: arial,sans-serif; font-size-adjust: none; font-size: 13px; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: 1.25em; text-align: left;">Sejak engkau bertemu lelaki bermata lembut<br />
Ada yang tersentak dari dalam dadamu<br />
Kau menyendiri duduk dalam gelap<br />
Bersenandung nyanyian kasmaran<br />
Dan tersenyum entah untuk siapa<br />
<br />
Nampaknya engkau tengah mabuk kepayang<br />
Kau pahat langit dengan angan-angan<br />
Kau ukir malam dengan bayang-bayang<br />
<br />
Jangan hanya diam kau simpan dalam duduk termenung<br />
Malam yang kau sapa lewat tanpa jawab<br />
<br />
Bersikaplah jujur dan tebuka<br />
Tumpahkanlah perasaan yang sarat dengan cinta<br />
Yang panas bergelora<br />
<br />
Barangkali takdir tengah bicara<br />
Ia diperuntukkan buatmu<br />
Dan pandangan matanya memang buatmu<br />
<br />
Mengapa harus sembunyi dari kenyataan<br />
Cinta kasih sejati kadang datang tak terduga<br />
<br />
Bergegaslah bangun dari mimpi<br />
Atau engkau akan kehilangan<br />
Keindahan yang tengah engkau genggam<br />
<br />
Anggap saja takdir tengah bicara<br />
Ia datang dari langit buatmu<br />
Dan pandangan matanya khusus buatmu </div><div style="font-family: arial,sans-serif; font-size-adjust: none; font-size: 13px; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: 1.25em; text-align: left;"></div><div style="font-family: arial,sans-serif; font-size-adjust: none; font-size: 13px; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: 1.25em; text-align: left;"></div><div style="font-family: arial,sans-serif; font-size-adjust: none; font-size: 13px; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: 1.25em; text-align: left;"><br />
Aah...kapan ya saya bertemu lelaki yang pandangannya khusus buat saya, yang memandang saya dengan halalnya (meracau mode on). Saya yakin takdir saya itu bagus, saya akan bertemu laki-laki terbaik yang mampu membawa saya pada ridhoNya. Kalau tidak, pastilah takdir sedang berkelahi dengan doa di langit, karena hanya doa yang mampu melawan takdir. Bantu doa saya ya dengan ikut mendoakan saya :D </div>Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-25350891.post-68923354128152007102010-01-23T02:37:00.000-08:002010-01-23T02:37:15.914-08:00Penakut? Siapa?<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Bayangkan. Jika Anda tinggal di perkampungan di tengah hutan dan rumah Anda terletak di garis terluar kampung itu. Halaman belakang Anda adalah tanah "tak ber<strike>penghuni</strike>-manusia seluas mata memandang. Yang ada hanyalah pohon rambutan, duren, petai, jengkol, kecapi, melinjo, dan rumpun-rumpun bambu.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Lalu bayangkan. Anda sedang berada di kamar Anda, sendirian. Di malam hari. Di luar hujan begitu deras. Lalu listrik padam. Apa yang akan Anda lakukan? Kalau saya, dan teman-teman serumah saya, berteriak, "YAAAAAA.........." dan secara spontan serentak menggabung di ruang tengah. Duduk berhimpitan. Melly bahkan berkeras ingin duduk di tengah. Lalu kami tiba-tiba menjadi begitu kritis pada penampilan yang lain.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Mbak dibuka dong mukenanya!"<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Nafa diiket dong rambutnya, jangan digerai!"<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Teh Lia rambutnya jangan dicepol ke atas!"<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Semua itu demi meminimalisir imajinasi kami yang kadang datang tanpa permisi.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Setelah keributan mereda, terdengar suara jendela yang mengayun-ayun. Kusennya terhantam-hantam bingkai kaca jendela. Keributan baru terjadi.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Aaah...jendela siapa tu yang belum ditutup??!"<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Aku udah", jawabku yakin karena saat pulang kantor sore tadi sengaja menengok jendela kamar dan teman sekamarku telah menutupnya. Tapi lalu jadi tak yakin karena teringat jendela kamar saya agak longgar jadi harusnya juga diganjal.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Jendela Teh Lia?" tanyaku untuk mengemukakan kemungkinan lain.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Ih, jendelaku gak pernah dibuka!" jawabnya yakin.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Jendela Melly?"<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Duh, iya deh kayaknya....jendela Melly yang belum ditutup."<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Aaaah......!" kami koor lagi.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Tutupin dong Mba Winy. Melly ga berani."<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Aku gak mau kalo sendiri. Ya udah kita bareng-bareng aja. ", kata saya.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Ayo!" jawab Melly.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Hei, jangan! Nanti aku sendirian," kata Teh Lia yang sedang makan.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Ya udah Naf, kita berdua! ajakku pada Nafa.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Yuk!" jawabnya.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Periksa...periksa...ayo periksa....," kami menyemangati diri sendiri.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sampai di kamar, kami mendekati jendela dengan ragu-ragu, mengendap-endap, seakan menghadapi musuh yang tak terlihat.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Nafa maju menyingkap jendela.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"AAAAA........!" kami berteriak. Tak jelas kenapa. Hanya meluapkan rasa yang menguat dalam hati saja.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Ngapain sih kita teriak?" tanya Nafa.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Ga tau, " saya nyengir.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Ayo Naf, buka yang satunya, " kataku.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Mba Winy aja ah," jawabnya.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Ga mau ah, aku kan tugasnya megangin senter," saya ngeles.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Nafa membuka tirai yang satunya, bersamaan dengan bunyi derit dan hantaman kusen, bam!<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"AAAAAaaaaaa...., " kami hambur ke luar kamar. Tertawa-tawa bersama yang lain, geli pada kelakuan kami sendiri.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Bener tuh jendela Melly yang belum ditutup, " kata Nafa.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Wajah Melly memelas.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Ayo Naf, kita tutup," tarikku ke kamar Melly.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Saat Nafa menutup jendela, kami berdiam diri dalam tegang dan merinding. Alhamdulillah akhirnya jendela kamar Melly berhasil ditutup. Kami keluar kamar dengan langkah ringan dan pasti.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tapi....belum juga kami kembali duduk berjejeran demi penghangatan diri dan ketenangan hati, terdengar lagi suara itu, bam!<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Yaah...suara dari mana tuh?" ucap Melly, pertanyaan semua orang.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Saya dan Nafa mencari sumber suara, langkah membawa kami ke kamar Nafa&Teh Lia. Loh kok di sini, pikir saya, bukannya Teh Lia yakin bahwa jendelanya tertutup?<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Ah, masa' sih Naf di sini?" tanya saya.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Nafa menjawab dengan menyingkap tirai kamarnya. Bam!<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br />
Adegan pun terulang: kami lari ke luar kamar sambil teriak histeris tak jelas.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Teteh gimana sih, itu (bunyi) jendela Teteh!" protesku.<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Teh Lia dengan wajah tanpa dosa dengan ekspresi bertanya-tanya menjawab tenang,<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Aku gak punya jendela..."<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Aaaargh, jendela KAMAR Teteh!"<br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br />
</div><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">*yang menyebalkan dari kejadian ini adalah, besok paginya Melly bilang ke orang-orang yang datang ke rumah kami bahwa saya penakut. Ga sopan se-ga sopan-ga sopannya!*</span>Winyhttp://www.blogger.com/profile/02157644834175847265noreply@blogger.com2