journal of a learner

one effort to write. one effort to be a lifelong learner

Tuesday, July 20, 2010

Cerita Ayah Farhan

Ayah Farhan sedang duduk di kursi taman yang menghadap ke lapangan basket. Angin sore bertiup sepoi-sepoi. Rumpun-rumpun bambu tetap tegak, namun daun-daunnya berkibas-kibas cepat. Sebagian melepaskan diri, terbang melintir-lintir dengan genitnya. Beberapa tanaman hias mewarnai pandangan. Mawar, kembang sepatu, dan bebungaan lain dalam pot tertata rapi. Ayah merasa butuh relaksasi sore ini. Ia baru selesai mengikuti pelatihan guru. Ah, betapa beratnya menjadi guru. Untuk mengajar saja, butuh banyak ketrampilan. Apalagi kalau kita ingin mempertahankan idealisme kita akan sebuah arti pendidikan. Banyak guru yang tidak mengerti teori pengajaran yang baik. Banyak juga yang tau, tapi tidak diaplikasikan. Ingatannya pun melayang pada kenangan saat dia masih kuliah, saat idealisme dibangun.

Mata kuliah yang satu ini wajib diambil. Meski berlangsung di siang hari saat kantuk paling garang menyerang, kelas tetap penuh oleh mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Dosen memasuki kelas.
”Oke, karena ini mata kuliah teater, saya mau tau dulu, siapa saja yang sudah paham tentang teater?”
Tidak ada yang mengangkat tangan.
”Tidak ada? Kalian ini bagaimana? Bagaimana saya bisa ngajar kalau kalian tidak punya dasar tentang mata kuliah ini? Harusnya kalian sudah mempelajari sebelum masuk kelas. Sudah, saya tidak bisa mengajar kalau begini. Pelajari dulu tentang teater.”
Dosen pun melenggang keluar.

Pertemuan berikutnya, mahasiswa sudah siap.
”Oke, sekarang, siapa yang sudah paham tentang teater?”
Semua mahasiswa mengangkat tangan.
”Sudah paham semua?”
”Iya Pak”
”Lalu apalagi yang perlu saya ajarkan? Kalau sudah paham semua ya sudah.”
Dosen kembali melenggang keluar.
Mahasiswanya mulai gemas. Jengkel.

Pertemuan ketiga, mahasiswa telah menyiapkan strategi.
“Baik, siapa di sini yang benar-benar sudah paham teater?”
Sebagian mahasiswa mengangkat tangan, sebagian tidak.
”Nah, yang sudah paham silahkan mengajarkan pada yang belum paham. Saya keluar dulu.”
Yeeeee.....kapan ngajarnya?

Tersenyum-senyum, Ayah Farhan pun segera sadar waktu maghrib hampir tiba.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home