journal of a learner

one effort to write. one effort to be a lifelong learner

Wednesday, April 12, 2006

Menyalurkan Nafsu

Doug Fraust dari Playstation Magazine mengatakan bahwa kekerasan sudah ada dalam naluri kita. “Adalah keliru jika mengasumsikan hanya karena sarat kekerasan, video game menyebabkan kekerasan hadir dalam masyarakat kita. Justru sebaliknya, video game memungkinkan anak-anak yang secara alamiah agresif menyalurkan sifat itu dalam bentuk permainan khayalan, bukan bertindak kekerasan terhadap orang lain.” Pernyataan ini pun menyublim dalam strategi promosi produk-produk game. Contohnya: “Vigilance menyalurkan naluri kekerasan yang ada dalam dirimu dengan cara yang baik”, atau “Bertindaklah secara lokal, mengganaslah secara global, salurkan potensi kebuasanmu” (John Naisbitt, High Tech High Touch, 2001).

Hal ini membuat saya bertanya-tanya, benarkah hal itu? Kekerasan mungkin saja sudah ada dalam diri kita, seperti tenaga yang ada dalam air tenang yang dalam, seperti kekuatan yang terkandung dalam bambu petung yang halus dan lentur. Tapi haruskah disalurkan dengan cara seperti itu? Bukankah itu justru membuat seseorang ingin melakukannya lagi? Saat itu, toh tidak ada korban. Lalu ia melakukannya lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Pada titik tertentu, yang berbeda-beda pada masing-masing orang, hal itu menyebabkan kekerasan sebagai kebiasaan. Sesuatu yang biasa ada. Perkembangannya, akan terasa kurang jika sesuatu yang biasa ada itu tidak ada. Kekerasan menjadi kebutuhan.

Bagaimana dengan anak-anak yang tidak agresif secara alami? Apakah mereka akan terpacu menjadi agresif juga dengan mengikuti pola permainan yang menuntut agresivitas?

Pembantaian Littleton di Colorado AS mungkin salah satu contoh yang paling ekstrim, tapi tidak berarti tidak mungkin (buktinya itu terjadi). 20 April 1999 di Columbine High School, 2 siswa menjadikan sekolah sebagai medan tempur, meledakkan bom-bom pipa rakitan sendiri, membidik teman-temannya dengan senjata laras pendek, menyandera puluhan siswa serta beberapa orang guru. Korban tewas terdiri dari seorang guru dan 14 siswa, termasuk 2 siswa pelaku pembantaian, 23 lainnya luka-luka, dan trauma pada seluruh negeri setelah 5 jam pengepungan.

Yang saya kritisi di sini bukanlah mengenai electronic game. Game hanyalah media, yang efeknya bergantung pada pengemasan pesannya, maka dari itu game pun dapat digunakan untuk pembelajaran (tanpa melupakan peran guru dan orangtua). Yang saya cermati adalah bagaimana nafsu kekerasan itu disalurkan. Benarkah akan baik jika nafsu kekerasan itu disalurkan dengan melakukan kekerasan itu sendiri? Take it to the surface and we’ll relieve. Seperti orang yang lega setelah menangis akibat ditinggalkan orang yang disayangi. Jujur saja, saya sendiri menikmati permainan pukul kepala anjing di Fun City. Kalau ada kepala anjing yang keluar dari lubangnya, cepat pukul dengan palugada, skor pun didapat. Setelah itu saya merasa lebih bersemangat, seperti ada mampatan yang terangkat. Tapi apa itu benar? Bagaimana dengan olahraga? Bukankah olahraga bagus untuk menyalurkan energi? (saya sendiri sangat jarang berolahraga). Bagaimana dengan beladiri (dengan aspek beladiri tentunya, bukan aspek seni, olahraga, apalagi spiritual)? Tidakkah itu bisa menyalurkan nafsu kekerasan?

Selain nafsu kekerasan, ada pula nafsu makan. Bagaimana dengan orang yang secara alamiah memiliki nafsu makan besar? Apakah penyalurannya dengan cara makan terus hingga nafsu itu terpenuhi? Sementara nafsu itu sendiri tidak akan habis. Muncullah eating disorder yang membawa pada kegemukan yang destruktif, menggerogoti self-esteem. Di sisi lain, nafsu makan yang terlalu dikekang disertai social anxiety terhadap tubuhnya sendiri mengakibatkan anoreksia dan bulimia.

Penyaluran yang diajukan Islam, dinyatakan dalam hadits Rasulullah Muhammad SAW yang menyatakan agar makan ketika lapar (ketika tubuh membutuhkan) dan berhenti makan sebelum kenyang. Sepertiga bagian perut untuk makanan, sepertiga bagian untuk air, dan sepertiga bagian untuk udara.

Masih berkaitan dengan nafsu manusia, Dr. Wimpie Pangkahila (ahli andrologi dan seksologi) punya pendapat soal nafsu seksual. Ia menyatakan, berdasarkan penelitian ilmiah di berbagai negara, pornografi justru merupakan katup pengaman yang berguna dalam budaya yang bersifat represif seksual. Ia melanjutkan, pemerkosaan dan kejahatan seks terhadap anak-anak justru dilakukan oleh mereka yang di masa remajanya kurang menerima rangsangan erotik.

Hal ini menimbulkan tanda tanya besar bagi saya. Benarkah mereka tidak akan memperkosa jika mereka mendapat rangsangan erotik yang mencukupi lewat pornografi? Kenyataan yang saya lihat justru sebaliknya. Dengan mudahnya akses terhadap pornografi, pelecehan terus berkembang. Pemerkosaan terjadi di mana-mana, dan bisa terjadi terhadap siapa saja. Entah itu nenek-nenek, perawan, janda, ABG, bahkan balita dan bayi! Pelakunya pun bisa siapa saja, anggota DPRD, guru, dukun, ayah tiri, bahkan ayah kandung! Anak-anak SD pun sudah ada yang melakukannya, setelah nonton film porno (bluefilm) mereka menirunya. Memperkosa tetangga sendiri.

Dalam sebuah koran ibukota, dituliskan bahwa pihak polisi menyatakan bahwa jumlah kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual meningkat tajam seiring denga derasnya peredaran VCD porno. Maka dari itu, mereka akan berusaha membasmi peredaran VCD haram tersebut. Semoga mereka istiqomah dalam pekerjaannya.

Maka, bukankah pornografi justru mengiring kita pada budaya represif seksual itu sendiri? Bukankah justru pornografi memicu terjadinya pemerkosaan alih-alih jadi penyaluran yang aman? Menurut saya, pornografi dan degradasi moral membentuk lingkaran setan, yang satu menyebabkan yang lain. Tapi pornografi sebagai katup pengaman? Saya sungguh mempertanyakan itu. Sama seperti pada kekerasan, penyaluran nafsu dengan cara itu (dalam hal ini pornografi) justru membuat individu menjadi menginginkan lagi dan lagi, menjadi kebiasaan, dan akhirnya kebutuhan.

Seperti yang ditunjukkan oleh sebuah studi tentang efek pornografi oleh Universitas Utah Amerika bahwa secara empiris dan klinis, pornografi bersifat progresif dan menimbulkan ketagihan pihak yang menkonsumsinya. Hasil studi memperkuat bahwa pornografi sangat mengancam kualitas moral dan intelektual, khususnya di kalangan generasi muda (Aliansi Komunitas Warga RI di Inggris, Koran Tempo, Minggu 26 Maret 2006).

Penyaluran yang diajukan Islam adalah menikah, bukan pornografi, bukan pula mengekang diri (selibat). Jika seseorang sudah tidak dapat menahan diri, baik dengan menahan pandangan maupun puasa, maka ia sangat disarankan (atau malah diwajibkan) untuk menikah. Menikah bukan hanya penyaluran biologis saja, tapi juga membawa konsekuensi berupa tanggung jawab, maka penyaluran dengan cara menikah lebih sehat secara fisik, psikis, maupun sosial.

Mungkin tidak akan ada habisnya jika kita berbicara tentang nafsu manusia karena manusia itu kompleks dan multidimensi. Namun secara garis besar, kita dapat membagi nafsu manusia menjadi tiga:

1. Nafsu yang baik, tenang (nafsu mutmainnah)

Yaitu nafsu untuk melakukan perbuatan baik, terjadi ketika diri/self/ruh mampu mengatasi diri sendiri (self control). Misalnya nafsu menolong orang lain, nafsu beribadah, nafsu nulis blog (halah!) :D

2. Nafsu yang menyebabkan kejahatan dan kerusakan (nafsu amarah)

Terjadi ketika ruh/self/diri tidak mampu mengatasi diri sendiri.

3. Nafsu Lawamah

Tejadi ketika tarik menarik dalam diri (antara self/ruh dengan diri sendiri). Pada saat inilah akal berfungsi, penentuan siapa yang menang dipengaruhi oleh kesadaran diri, ilmu, dan hidayah.

Ketiga nafsu tersebut digolongkan sebagai potensi manusia.

Demikian renungan saya, sampai tulisan ini selesai sebagian besar pertanyaan saya belum terjawab. Tulisan ini memang bukan untuk menjawab pertanyaan sendiri, tapi mengajak anda yang ingin berbagi.

9 Comments:

At 10:13 PM , Blogger babble-O said...

Helllooowwww,...
Masa sih colorfull, kayaknya gelap d. Soalnya temen2 gw pada protes, katanya tulisannya jadi ga keliatan.. Hehehehehe...
Salam kenal ya...

 
At 6:48 PM , Blogger Spedaman said...

wahduh gw suka olahraga beladiri tp paling ga suka sama kekerasan, apalagi sama cowo kasar:p
soalnya gw ttp suka lawan jenis hehehe...

 
At 8:43 PM , Blogger syafrina-siregar said...

Duh, judulnya rada2 'gerah'...heheheh

 
At 2:26 AM , Blogger Keira Adzra Athayya said...

alow... thx kunjungannya...:)

bentar ya... gw baca2 dulu, panjang bow...:)

 
At 12:06 AM , Anonymous Anonymous said...

kalo saya memang pengkonsumsi game2 kaya gitu...bukan karena suka, tapi memang bikin penasaran. biasanya setelah sebuah video game diprotes atou di-banned setlah dirilis saya langsung nyoba.

 
At 3:25 AM , Blogger SEKJEN PENA 98 said...

Di sini ada cerita
Tentang cinta
Tentang air mata
Tentang tetesan darah

Disini ada cerita
Tentang kesetiaan
Juga pengkhianatan

Disini ada cerita
Tentang mimpi yang indah
Tentang negeri penuh bunga
Cinta dan gelak tawa

Disini ada cerita
Tentang sebuah negeri tanpa senjata
Tanpa tentara
Tanpa penjara
Tanpa darah dan air mata

Disini ada cerita tentang kami yang tersisa
Yang bertahan walau terluka
Yang tak lari walau sendiri
Yang terus melawan ditengah ketakutan!

Kami ada disini
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com

(Give your comment to change our future)

 
At 3:27 AM , Blogger SEKJEN PENA 98 said...

Di sini ada cerita
Tentang cinta
Tentang air mata
Tentang tetesan darah

Disini ada cerita
Tentang kesetiaan
Juga pengkhianatan

Disini ada cerita
Tentang mimpi yang indah
Tentang negeri penuh bunga
Cinta dan gelak tawa

Disini ada cerita
Tentang sebuah negeri tanpa senjata
Tanpa tentara
Tanpa penjara
Tanpa darah dan air mata

Disini ada cerita tentang kami yang tersisa
Yang bertahan walau terluka
Yang tak lari walau sendiri
Yang terus melawan ditengah ketakutan!

Kami ada disini
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com

(Give your comment to change our future)

 
At 5:13 PM , Anonymous Anonymous said...

sangat menarik, terima kasih

 
At 5:54 PM , Blogger Winy said...

thanks all... :)
anonymous: siapa ya?

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home