Jika dua orang yang mampu hidup sendiri, nyaman hidup sendiri, dan biasa hidup sendiri harus menjalani skenario untuk hidup bersama, apa jadinya?
Mendapat sms yang tiba-tiba dari seorang sahabat, menguatkan saya untuk benar-benar menulis tentang ini. Sebelumnya, saya berpikir bahwa topik ini mungkin sudah basi.
Trkadang aq merasa nyaman dengan ksendirian qu dan khawatir jk menikah. Dan begitupun sebaliknya.
Apa yang dirasakan sahabat saya ini, saya pernah rasakan juga. Saya merasa sudah mandiri,
stand on my own feet. Segala kebutuhan material dapat tercukupi. Saya punya teman-teman yang baik, setia kawan, dan seru. Lebih-lebih lagi, beberapa dari teman-teman itu hidup serumah dengan saya. Berarti, sejak bangun tidur hingga tidur lagi saya tidak akan kehabisan teman untuk diajak berbagi. Karena hubungan kami adalah teman, kami tidak mengintervensi kehidupan masing-masing terlalu jauh. Setiap orang dapat memilih teman lain, pekerjaan baru, penyelesaian masalah, cara berpakaian, tempat bersantai, pilihan masa depan, dsb. tanpa benar-benar bisa memaksakannya pada orang lain, kecuali sebatas memberi nasehat pada sahabat.
Dengan penghargaan pada
privacy masing-masing, saya dapat menyingkir dan menyendiri kapan pun saya merasa perlu. Tak ada urusan yang terlalaikan jika saya berangkat ke toko buku berlama-lama, ke pantai hingga malam, atau browsing internet hingga berjam-jam.
Saya terbiasa juga menyelesaikan urusan-urusan sendiri. Penelitian atau studi banding ke Bogor, sendiri. Mengajar atau rapat di Depok, sendiri. Observasi kampus atau sekadar jalan-jalan di Bandung, sendiri. Wawancara kerja dari Rawa Papan sampai Anyer, sendiri. Berangkat sendiri pulang sendiri. Sangat-sangat jarang saya dijemput atau diantar anggota keluarga. Kalau pun ada yang bersama saya, adalah beberapa teman dalam kesempatan yang berbeda-beda.
Karena ngekos sejak kuliah, saya juga harus memikirkan makanan sendiri. Cucian, tak usah ditanya. Mau cuci sendiri, cuci di mesin cuci di rumah, atau minta dicucikan tukang cuci, saya bebas menentukan sendiri. Saya bebas mau menentukan prioritas apa dalam berbelanja. Untuk buku, makanan, pakaian, atau kiriman untuk orang tua, saya tentukan sendiri.
Being independent maybe uneasy, but being interdependent is more difficult.
Pada beberapa orang, kemandirian adalah karakter. Pada beberapa orang lain, kemandirian harus dilatih. Dan pada sebagian lain, kemandirian menyebabkan fobia.
That’s why I said, being independent maybe uneasy. Saya sendiri mandiri secara finansial baru setelah lulus kuliah. Mengumpulkan receh demi receh untuk memenuhi kebutuhan sendiri adalah perjuangan. Sekaligus kenikmatan. Memenuhi kebutuhan orang lain, lebih nikmat lagi. Maka pada akhirnya, mandiri, independent, adalah keniscayaan. Tak perlu dihindari, tak perlu gembar-gembor, pada akhirnya setiap kita, atau setidaknya saya, akan menjadi mandiri.
Menjadi saling-tergantung (
interdependent) adalah sebuah level yang lebih lanjut daripada mandiri (
independent). Hal ini pernah saya baca di suatu tempat, lupa di mana. Hal ini, dalam persepsi saya, dapat berarti bahwa, fase menjadi mandiri harus lebih dulu dijalani sebelum dapat mencapai fase saling-tergantung. Dapat juga berarti, menjadi saling bergantung lebih sulit daripada menjadi mandiri. Menjadi saling tergantung berarti ada kerelaan untuk berbagi bahkan di saat tidak rela, ada pengorbanan dari diri sendiri untuk yang lain yang akhirnya bermanfaat bagi diri sendiri juga, ada kecenderungan memikirkan masalah pihak yang lain saat masalah sendiri belum terselesaikan, ada kelapangan hati saat urusannya tak bisa diselesaikan tanpa ada kehadiran/partisipasi dari pihak yang lain.
Menjadi saling tergantung dapat dilihat dengan nyata dalam kehidupan pernikahan. Hampir segala hal diputuskan bersama. Batas-batas
privacy bergeser atau bahkan hilang. Dalam bahasa seorang sahabat, “ tidak peduli mau tinggal di mana atau kerja apa, yang penting adalah bersama.”
Dengan menikah, keputusan satu pihak akan mempengaruhi pihak yang lain. Pilihan tempat kerja satu pihak akan mempengaruhi pihak yang lain. Pilihan berbusana satu pihak akan mempengaruhi selera atau bahkan reputasi pihak yang lain. Pilihan makanan satu pihak memaksa pihak lain mengonsumsi yang sama. Atau harus saya katakan, kedua insan sudah menjadi satu? Jika memang sudah menjadi satu, tak ada lagi pengorbanan karena pengorbanan yang dilakukan sesungguhnya adalah untuk diri sendiri.
Aduh gampang banget ngomongnya. Kenyataannya, seperti sahabat saya dan saya dulu rasakan, menjadi saling tergantung tidaklah mudah di saat kita telah nyaman hidup sendiri. Apalagi jika telah membuat prestasi atau capaian yang mungkin akan harus ditinggalkan saat menikah. Betapa sulit. Lebih-lebih lagi jika kenyamanan hidup sendiri telah menggiring pada pertimbangan untuk terus hidup sendiri. Mengapa saya harus berdua jika saya telah begitu nyaman dan sukses dengan hidup sendiri?
Setelah saya menikah, kesulitan-kesulitan itu nyata ada. Saya dan suami yang telah nyaman hidup sendiri, mandiri, tak biasa dilayani atau melayani, kini memikirkan tentang bagaimana saling menyenangkan, berusaha mempertimbangkan pihak lain saat mengambil keputusan, mencermati aktivitas pihak lain saat hendak melakukan aktivitas sendiri. Tapi itu semua bukan karena harus, melakukan terjadi secara alami.
Jadi, bagi saya, seperti halnya dalam berproses menjadi mandiri, menjadi saling tergantung tidak perlu dihindari atau sebaliknya digembar-gemborkan, hal tersebut adalah sebuah keniscayaan. Bekal pengetahuan selalu dibutuhkan, tapi keberanian untuk menjalaninya-lah yang akan lebih berguna dan menjadi pemanis saat proses (menjadi saling tergantung) itu berlangsung.