journal of a learner

one effort to write. one effort to be a lifelong learner

Tuesday, April 21, 2009

Demokrasi Berlumur Judi

Hari Ahad di bulan April itu adalah hari bersejarah bagi masyarakat RW 011 Kelurahan Kepangan Indah, Tangerang. Hari tersebut adalah hari pemilihan ketua RW yang baru. Panggung dibuat, pedagang berkumpul, masyarakat datang. Sempat terlihat tukang ojek berbaju merah menbawa-bawa bendera dengan motornya sambil berpantun via toa, 
"kalo ke slipi jangan lupa mampir di palmerah
pergi ke pasar beli sepatu
jangan lupa ama abang yang baju merah
klo mau yang mantep coblos nomer satu!"
 
Untuk memilih ketua RW, satu keluarga memiliki satu hak suara. Biasanya diwakili para lelaki alias para bapak, atau ibu-ibu yang telah menjanda.
Di daerah ini, money politics sudah (atau masih?) menjadi hal biasa. Dalam Pemilu saja, praktek tersebut masih gencar dilakukan. Saya ingat waktu Pemilu "istimewa" tahun '99 saat pertama kali saya punya hak suara, saat Indonesia punya 48 partai sebagai pilihan dan mayoritas partai baru yang tidak dikenal. Sejumlah orang membagikan uang kepada penduduk yang rata-rata sudah lanjut usia (golongan ini sudah mencoblos "partai kuning" berkali-kali dan bagi mereka itu sudah tradisi, sebagian besar mereka tidak mengerti politik. Tau ketua umumnya saja tidak-perkiraan gombal) atau buta huruf (golongan ini juga sudah menjadi pemilih bayaran "partai kuning" berkali-kali, mereka lebih mudah diarahkan karena partai itu sudah dikenali lambangnya). Saya sempat melihat sendiri- karena terjadi secara jelas dan terbuka, dekat TPS pula-seorang "pengarah" menerangkan dan mengingatkan penduduk letak gambar "partai kuning" itu, mengingat ketika itu ada puluhan partai. Dia memberi tahu nomornya, letak gambar yang harus dicoblos-sebelah atas atau bawah, kiri, tengah, atau kanan, memastikan agar mereka tidak salah coblos. Sementara untuk golongan yang "lebih terpelajar" diberikan janji-janji (kekuasaan). Saya sendiri diminta untuk mencoblos partai itu. Katanya, partai itu yang membuat jalan di daerah kami jadi bagus dan beberapa proyek yang dibutuhkan warga hanya akan bisa berjalan jika partai ini menang.
"Jadi tolong ya Bu ya... tolong ya Bu..."
Maaf bagi Anda pendukung "partai kuning", tapi ini benar-benar terjadi. Mungkin saja terjadi salah komando atau ada perbedaan kebijakan politik antara petinggi partai dan operator lapangan, tapi mungkin juga tidak. Saya hanya menuliskan fakta.
Mengingat kondisi yang hampir sama - buta huruf dan information illiteracy- di banyak tempat di Indonesia, tidak heran jika "partai kuning" masih jadi 3 besar pemenang Pemilu '99. Sudah tradisi....

Nah, ketika para calon ketua RW membagi-bagikan amplop kepada penduduk, saya pun tidak heran. Saya hanya bisa berdoa dalam hati (huh, tingkatan iman yang paling rendah tuh!). Warga mencoblos dan suara dihitung. Pemenang diumumkan. Tapi, coba..... apa itu? Sekelompok orang bersorak-sorai dan memboyong sepeda motor. Usut punya usut, ternyata mereka mengadakan taruhan. Mereka menebak calon yang akan menang, tentu saja plus investasi. Orang-orang yang tebakannya sama, dikelompokkan. Kelompok yang benar tebakannya, mendapatkan sepeda motor yang dibeli dengan uang taruhan itu. Ckckck.... dan saya pikir money politics di sini sudah cukup parah...

Selanjutnya, sepeda motor taruhan dibawa keliling sambil diarak. Ketua RW yang baru mengadakan open house. Warga yang memberi ucapan selamat dijamu dengan berdus-dus rokok (yang boleh dibawa pulang), bergelas-gelas air mineral, dan tentu saja, amplop putih. Selain itu tukang jajanan di sekitar TPS dipanggil dan di-carter untuk tamu Pak RW. Siomay, limun, rujak, silahkan menikmati... Saya hanya bisa memandangi anak-anak yang berebut dilayani tukang rujak, bagaimanakah masa depan bagi mereka?