journal of a learner

one effort to write. one effort to be a lifelong learner

Thursday, October 21, 2010

Cerita Farhan # 4: Mimpi

Lagi-lagi tentang Farhan. Kabar terbaru tentang Farhan adalah: ia sudah dapat menceritakan mimpinya. Contohnya, beberapa malam yang lalu ia mengigau hingga Ayah pun terbangun.
“TIDAAAAK! TIDAK! TOLONG! MAMA! TOLONG!”
Berteriak-teriak, kakinya lasak menendang-nendang.
”CIAAAAT! STOP! STOP! STOP!"
Tak lupa tangannya menggapai-gapai udara. Dalam tidur pun Farhan tak bisa diam.
Esok paginya ia bercerita pada Ayah.
“Ayah, semalem aku mimpi Yah!” katanya antusias.
“Farhan mimpi apa?” sambut Ayah agak menantang agar Farhan bercerita.
“Aku mimpi mau ditabrak mobil Yah! Trus aku gini Yah,
(memeragakan, kedua tangannya terjulur ke depan seperti menahan benda dari depan) ‘tidaaaak, tidaaak....jangan tabrak aku!’ Trus dia mau nabrak Mama Yah! Aku mau peluk Mama tapi takut. Trus aku ‘Ciaaaat! Ciaaaat! Ciat! Stoooop!’”
Ayah mengangguk-angguk,
‘Hmm...cocok...cocok....ceritanya cocok.”

Saturday, October 16, 2010

Independent vs Interdependent

Jika dua orang yang mampu hidup sendiri, nyaman hidup sendiri, dan biasa hidup sendiri harus menjalani skenario untuk hidup bersama, apa jadinya?

Mendapat sms yang tiba-tiba dari seorang sahabat, menguatkan saya untuk benar-benar menulis tentang ini. Sebelumnya, saya berpikir bahwa topik ini mungkin sudah basi.

Trkadang aq merasa nyaman dengan ksendirian qu dan khawatir jk menikah. Dan begitupun sebaliknya.

Apa yang dirasakan sahabat saya ini, saya pernah rasakan juga. Saya merasa sudah mandiri, stand on my own feet. Segala kebutuhan material dapat tercukupi. Saya punya teman-teman yang baik, setia kawan, dan seru. Lebih-lebih lagi, beberapa dari teman-teman itu hidup serumah dengan saya. Berarti, sejak bangun tidur hingga tidur lagi saya tidak akan kehabisan teman untuk diajak berbagi. Karena hubungan kami adalah teman, kami tidak mengintervensi kehidupan masing-masing terlalu jauh. Setiap orang dapat memilih teman lain, pekerjaan baru, penyelesaian masalah, cara berpakaian, tempat bersantai, pilihan masa depan, dsb. tanpa benar-benar bisa memaksakannya pada orang lain, kecuali sebatas memberi nasehat pada sahabat.

Dengan penghargaan pada privacy masing-masing, saya dapat menyingkir dan menyendiri kapan pun saya merasa perlu. Tak ada urusan yang terlalaikan jika saya berangkat ke toko buku berlama-lama, ke pantai hingga malam, atau browsing internet hingga berjam-jam.

Saya terbiasa juga menyelesaikan urusan-urusan sendiri. Penelitian atau studi banding ke Bogor, sendiri. Mengajar atau rapat di Depok, sendiri. Observasi kampus atau sekadar jalan-jalan di Bandung, sendiri. Wawancara kerja dari Rawa Papan sampai Anyer, sendiri. Berangkat sendiri pulang sendiri. Sangat-sangat jarang saya dijemput atau diantar anggota keluarga. Kalau pun ada yang bersama saya, adalah beberapa teman dalam kesempatan yang berbeda-beda.

Karena ngekos sejak kuliah, saya juga harus memikirkan makanan sendiri. Cucian, tak usah ditanya. Mau cuci sendiri, cuci di mesin cuci di rumah, atau minta dicucikan tukang cuci, saya bebas menentukan sendiri. Saya bebas mau menentukan prioritas apa dalam berbelanja. Untuk buku, makanan, pakaian, atau kiriman untuk orang tua, saya tentukan sendiri.

Being independent maybe uneasy, but being interdependent is more difficult.

Pada beberapa orang, kemandirian adalah karakter. Pada beberapa orang lain, kemandirian harus dilatih. Dan pada sebagian lain, kemandirian menyebabkan fobia. That’s why I said, being independent maybe uneasy. Saya sendiri mandiri secara finansial baru setelah lulus kuliah. Mengumpulkan receh demi receh untuk memenuhi kebutuhan sendiri adalah perjuangan. Sekaligus kenikmatan. Memenuhi kebutuhan orang lain, lebih nikmat lagi. Maka pada akhirnya, mandiri, independent, adalah keniscayaan. Tak perlu dihindari, tak perlu gembar-gembor, pada akhirnya setiap kita, atau setidaknya saya, akan menjadi mandiri.

Menjadi saling-tergantung (interdependent) adalah sebuah level yang lebih lanjut daripada mandiri (independent). Hal ini pernah saya baca di suatu tempat, lupa di mana. Hal ini, dalam persepsi saya, dapat berarti bahwa, fase menjadi mandiri harus lebih dulu dijalani sebelum dapat mencapai fase saling-tergantung. Dapat juga berarti, menjadi saling bergantung lebih sulit daripada menjadi mandiri. Menjadi saling tergantung berarti ada kerelaan untuk berbagi bahkan di saat tidak rela, ada pengorbanan dari diri sendiri untuk yang lain yang akhirnya bermanfaat bagi diri sendiri juga, ada kecenderungan memikirkan masalah pihak yang lain saat masalah sendiri belum terselesaikan, ada kelapangan hati saat urusannya tak bisa diselesaikan tanpa ada kehadiran/partisipasi dari pihak yang lain.

Menjadi saling tergantung dapat dilihat dengan nyata dalam kehidupan pernikahan. Hampir segala hal diputuskan bersama. Batas-batas privacy bergeser atau bahkan hilang. Dalam bahasa seorang sahabat, “ tidak peduli mau tinggal di mana atau kerja apa, yang penting adalah bersama.”

Dengan menikah, keputusan satu pihak akan mempengaruhi pihak yang lain. Pilihan tempat kerja satu pihak akan mempengaruhi pihak yang lain. Pilihan berbusana satu pihak akan mempengaruhi selera atau bahkan reputasi pihak yang lain. Pilihan makanan satu pihak memaksa pihak lain mengonsumsi yang sama. Atau harus saya katakan, kedua insan sudah menjadi satu? Jika memang sudah menjadi satu, tak ada lagi pengorbanan karena pengorbanan yang dilakukan sesungguhnya adalah untuk diri sendiri.

Aduh gampang banget ngomongnya. Kenyataannya, seperti sahabat saya dan saya dulu rasakan, menjadi saling tergantung tidaklah mudah di saat kita telah nyaman hidup sendiri. Apalagi jika telah membuat prestasi atau capaian yang mungkin akan harus ditinggalkan saat menikah. Betapa sulit. Lebih-lebih lagi jika kenyamanan hidup sendiri telah menggiring pada pertimbangan untuk terus hidup sendiri. Mengapa saya harus berdua jika saya telah begitu nyaman dan sukses dengan hidup sendiri?
Setelah saya menikah, kesulitan-kesulitan itu nyata ada. Saya dan suami yang telah nyaman hidup sendiri, mandiri, tak biasa dilayani atau melayani, kini memikirkan tentang bagaimana saling menyenangkan, berusaha mempertimbangkan pihak lain saat mengambil keputusan, mencermati aktivitas pihak lain saat hendak melakukan aktivitas sendiri. Tapi itu semua bukan karena harus, melakukan terjadi secara alami.

Jadi, bagi saya, seperti halnya dalam berproses menjadi mandiri, menjadi saling tergantung tidak perlu dihindari atau sebaliknya digembar-gemborkan, hal tersebut adalah sebuah keniscayaan. Bekal pengetahuan selalu dibutuhkan, tapi keberanian untuk menjalaninya-lah yang akan lebih berguna dan menjadi pemanis saat proses (menjadi saling tergantung) itu berlangsung.

Anne of Green Gables

Yak! Ini resensi pertama di blog ini. Langsung saja ya!

Buku ini bagus. Bagus. Dan menarik. Sedikit mengingatkan pada Little House on the Prairie-nya Laura Ingalls (walau saya belum pernah benar-benar baca buku itu).

Anne Shirley, dengan latar belakang yatim piatu dan dalam buku ini diadopsi oleh Matthew dan Marilla Cuthbert, adalah anak yang cerdas. Ia dapat mengeluarkan apa yang ada dalam kepalanya dengan kata-kata yang sesuai, tepat, bahkan canggih. Pada awalnya saya berpikir anak ini agak tomboy, karena ia berani melakukan ini-itu yang mungkin biasanya tidak dilakukan anak perempuan. Misalnya, berniat tidur di atas pohon ceri liar di malam hari. Ternyata tidak. Anne justru sangat feminin. Ia begitu peduli pada lengan baju menggelembung yang sedang tren pada saat itu. (Eh, ini soal feminitas atau kecenderungan anak untuk sama dan diterima oleh teman ya?). Dan berkembang bersamaan dengan alur cerita, terlihat Anne menikmati kesejajaran dengan lawan jenisnya, melalui persaingan dan hubungan yang berevolusi dari waktu ke waktu.

Green Gables adalah sebuah tempat yang indah. Penulisnya, Lucy Maud Montgomery, memang lahir di pulau yang melatari Green Gables, yaitu Pulau Prince Edwards, Kanada. Berkali-kali keindahan pulau itu dideskripsikan oleh Bu Montgomery. Saya jadi ber pikir, ini agaknya promosi terselubung atas tempat kelahiran sang penulis. Tentu saja, indahnya Green Gables berbeda dengan indahnya hutan Cinangka yang saya tinggali sekarang. Kalau Anne kasihan pada orang-orang yang tak mengenal bunga mayflower, saya prihatin padanya yang tak mengenal pohon bambu. Tak ada pohon bambu yang pernah disebut dalam buku itu.

Penokohan dilakukan dengan cukup bagus walau buku ini benar-benar berfokus pada Anne, Marilla, Matthew, dan Mrs. Lynde. Saya baru jelas melihat karakter tokoh lain di bagian akhir cerita. Josie Pye dan Gilbert Blythe, misalnya. Mungkin juga sayanya aja yang telmi.

Kalimat pertama yang membuat saya terkesan adalah saat Anne menunggu dijemput Matthew di stasiun kereta: “Karena satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah duduk dan menunggu, maka dia duduk dan menunggu dengan seluruh daya dan upayanya.” Haha..benar juga ya, untuk menunggu dengan baik itu memang diperlukan upaya.

Bab paling lucu adalah Bab Imajinasi Indah yang Berkembang ke Arah yang Salah. Anda harus membacanya sendiri.

Cerita tentang persahabatan selalu menarik buat saya. Bahkan dalam buku Saman-nya Ayu Utami pun, hal yang paling menarik bagi saya adalah persahabatan 4 wanita di dalamnya. Nah, Anne ini punya sahabat bernama Diana. Suatu hari, Marilla menemukan Anne yang berumur 11 tahun ini menangis tersedu-sedu memikirkan bahwa suatu hari nanti Diana akan menikah dan mereka akan terpisahkan. Sungguh hal yang konyol. Tapi setelah saya pikir lagi, saya juga kadang seperti itu, takut menghadapi apa yang akan terjadi di masa depan.


Yang menarik lagi, buku ini dapat kembali mengingatkan saya akan pentingnya politik. Lucu kan? Buku tentang anak-anak kok nyambung ke politik. Saya orang yang tidak terlalu terlibat dalam politik, tapi ada saat-saatnya saya pikir saya harus terjun di dalamnya. Nah, dalam buku ini, terlihat bahwa, hanya dengan melihat wajah murung Anne setiap kiriman pos datang, yang berarti pengumuman kelulusan Akademi Queen belum ada, Matthew mempertimbangkan dengan serius untuk mengubah pilihannya dari Partai Konservatif (yang saat itu berkuasa dan mengurus dewan pendidikan), ke Partai Liberal.

Banyak hal menarik yang dapat Anda temukan di buku ini. Saya, yang berpendapat bahwa buku bagus itu dapat digolongkan menjadi dua, yaitu buku yang perlu dimiliki dan buku yang cukup dipinjam di perpustakaan, merekomendasikan agar buku ini dimiliki. Bab terakhir membuat saya meneteskan air mata. Anne terus mengalami pertumbuhan sehingga Anne di akhir cerita tidak sama dengan Anne di awal cerita . Mungkin hal itulah yang membuat saya, meski menilai buku ini bagus.Bagus.Dan menarik, tidak tertarik untuk membaca ulang. Bagaimana dengan Anda?

Oya, saya jalan-jalan ke tempat Erma dan menemukan resensi lain tentang buku ini. Silakan kalau mau baca.