journal of a learner

one effort to write. one effort to be a lifelong learner

Tuesday, July 20, 2010

Gara-gara Rok Saja

Pagi itu cukup cerah. Aku bersyukur mendapat tempat duduk di bis Tangerang- Bogor yang melaju malas-malasan. Hari ini aku berniat ke Parung, mengunjungi sekolah asuhan Dompet Dhuafa Republika, Smart Ekselensia. Biasanya bis tiga perempat ini sudah penuh ketika sampai di halteku. Alhamdulillah, hari ini aku tak perlu berdiri hingga ke tempat tujuan. Apalagi pasar yang tumpah di rel kereta Serpong memberi kesempatan pada para supir untuk semakin melambat, menambah koceknya dengan menunggu tambahan penumpang, memacetkan.

Kernet bis mulai mengumpulkan ongkos para penumpang. Aku pun membayar. Delapan ribu. Seperti biasanya. Walau tak terlalu lancar, akhirnya aku sampai di Zona Madani, lingkungan tempat Sekolah Smart Ekselensia. Di sekolah itu aku bertemu rekan semasa kuliah dulu yang konsisten menggeluti bidang yang kini menjadi duniaku. Tukar menukar info, berbagi pengalaman, observasi ini-itu, hingga waktu pulang pun tiba. Berdua dengannya, aku berdiri di pinggir jalan menunggu bis yang akan membawaku kembali ke Tangerang. Menunggu cukup lama di bawah gerimis yang jarang-jarang, akhirnya bis itu datang. Aku naik, sementara rekanku sudah lebih dulu naik angkot jurusan lain. Begitu duduk, kernet meminta ongkosku. Kuberikan selembar sepuluh ribuan. Diberi kembalian lima ribu. Hm? Gak salah nih? Aku pun melihat ke arah kernet seakan meminta penjelasan. Jangan-jangan ketika berangkat aku membayar lebih dari seharusnya, mungkin tarif ongkos sudah turun mengikuti penurunan harga bensin. Aku tak tau persis karena aku jarang naik bis bertrayek muter-muter ini. Atau kernet salah memberi kembalian? Salah orang, tidak mungkin, karena tidak ada yang membayar bersamaan denganku. Salah jumlah, sangat mungkin. Kucoba memikirkan kenapa kernet itu bisa salah. Ah, tentu. Tentu saja. Pasti karena itu. Baru kusadari hari ini aku memakai paduan baju seperti anak sekolah, rok abu-abu, blus putih, jilbab biru keabu-abuan. Ahahah...... jilbab saya memang bermotif, tapi bagi yang tidak awas bisa saja tertipu. Lagipula sekarang sudah banyak siswi yang berani memakai jilbab bermotif ke sekolah selama sekolahnya tidak menegur. Ya, kernet itu pasti mengira saya anak SMA. Hihihi...

Ternyata tak hanya sekali itu. Suatu saat saya berangkat ke tempat kerja, di hari kerja. Rok abu-abu, jilbab putih, baju biru terbalut jaket pink. Untuk mencapai tempat kerja, saya harus naik ojek sejauh delapan setengah kilometer. Tak ada angkot. Turun dari angkot yang telah membawa saya dari Cilegon, tukang ojek pun langsung bersiap di atas motornya. Saya segera naik ke motor yang terdekat. Mesin motor itu sudah dinyalakan saat saya membayar ongkos, tapi ketika saya sudah duduk di atas jok dan siap meluncur, mesinnya justru mati. Tukang-tukang ojek yang lain pun bersorak, ”Ulah ngedegdeg di hareupeun perawan!”* Ah, perawan. Saya jadi tersenyum. Perawan. Bagaimana reaksi suami saya ya kalau mendengarnya, hee..... Di tengah perjalanan si abang ojek bertanya,
”Dari mana neng?”
Hm, tumben saya dipanggil neng, biasanya bu.
”Dari Cilegon.”
Seperti biasa, pertanyaan berikutnya pun,
“Mau ke mana?”
“Ke En Ef”
”Oo, En Ef. Ini baru berangkat?”
“Iya bang.”
Saat itu saya tak berpikir jauh. Saya pikir ini basa-basi biasa. Tak disangka, saat motor memasuki kompleks sekolah, abang ojek membelokkan motornya menuju lokal SMA. Ah lagi-lagi.. Gara-gara pakai rok abu-abu saya dikira anak SMA.

Tak cukup dengan dua kejadian itu, kejadian berikutnya lebih mengherankan lagi. Masih berurusan dengan ojek. Di atas ojek dalam perjalanan ke kantor siang itu, si abang bertanya,
”Darimana neng?”
Klasik.
”Cilegon”
”O ini dari Cilegon. Sekolah di mana?”
Pertanyaan yang dalam benak saya pasti berarti: kerja di sekolahan mana?
“En Ef” jawab saya.
Saya rasa dia mengangguk-angguk sambil mengendalikan motornya, berkata
“Ooo SMP En Ef......”
Heeeeeh...? Kok SMP? Saya refleks melihat ke rok saya. Biru dongker. Halaah.....


*jangan grogi di depan perawan

Cerita Ayah Farhan

Ayah Farhan sedang duduk di kursi taman yang menghadap ke lapangan basket. Angin sore bertiup sepoi-sepoi. Rumpun-rumpun bambu tetap tegak, namun daun-daunnya berkibas-kibas cepat. Sebagian melepaskan diri, terbang melintir-lintir dengan genitnya. Beberapa tanaman hias mewarnai pandangan. Mawar, kembang sepatu, dan bebungaan lain dalam pot tertata rapi. Ayah merasa butuh relaksasi sore ini. Ia baru selesai mengikuti pelatihan guru. Ah, betapa beratnya menjadi guru. Untuk mengajar saja, butuh banyak ketrampilan. Apalagi kalau kita ingin mempertahankan idealisme kita akan sebuah arti pendidikan. Banyak guru yang tidak mengerti teori pengajaran yang baik. Banyak juga yang tau, tapi tidak diaplikasikan. Ingatannya pun melayang pada kenangan saat dia masih kuliah, saat idealisme dibangun.

Mata kuliah yang satu ini wajib diambil. Meski berlangsung di siang hari saat kantuk paling garang menyerang, kelas tetap penuh oleh mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Dosen memasuki kelas.
”Oke, karena ini mata kuliah teater, saya mau tau dulu, siapa saja yang sudah paham tentang teater?”
Tidak ada yang mengangkat tangan.
”Tidak ada? Kalian ini bagaimana? Bagaimana saya bisa ngajar kalau kalian tidak punya dasar tentang mata kuliah ini? Harusnya kalian sudah mempelajari sebelum masuk kelas. Sudah, saya tidak bisa mengajar kalau begini. Pelajari dulu tentang teater.”
Dosen pun melenggang keluar.

Pertemuan berikutnya, mahasiswa sudah siap.
”Oke, sekarang, siapa yang sudah paham tentang teater?”
Semua mahasiswa mengangkat tangan.
”Sudah paham semua?”
”Iya Pak”
”Lalu apalagi yang perlu saya ajarkan? Kalau sudah paham semua ya sudah.”
Dosen kembali melenggang keluar.
Mahasiswanya mulai gemas. Jengkel.

Pertemuan ketiga, mahasiswa telah menyiapkan strategi.
“Baik, siapa di sini yang benar-benar sudah paham teater?”
Sebagian mahasiswa mengangkat tangan, sebagian tidak.
”Nah, yang sudah paham silahkan mengajarkan pada yang belum paham. Saya keluar dulu.”
Yeeeee.....kapan ngajarnya?

Tersenyum-senyum, Ayah Farhan pun segera sadar waktu maghrib hampir tiba.