journal of a learner

one effort to write. one effort to be a lifelong learner

Thursday, June 18, 2009

Ternyata Ia Maha Adil

Ini ngomongin orang gak ya? Mungkin iya. Tapi saya gak peduli. Saya juga gak peduli soal bahasa di tulisan kali ini. Intinya, saya cuma mau cerita, mau berbagi, berhubung sedang pada sibuk bekerja sementara saya sendiri tidak, saya kesulitan menemukan orang yang bisa diceritai. Mungkin bisa jadi perenungan anda juga.

Merenungi bahwa Allah Maha Adil. Saya tidak dijadikannya dokter, perawat, ahli anestesi, anggota PMI, bahkan anggota PMR sekalipun. Meski waktu SD dijadikan dokter cilik di sekolah, meski nilai mencukupi untuk masuk IPA, tetaplah saya digiringNya berminat pada ilmu ekonomi dan pendidikan. Tetep sih kagum sama teman-teman yang sekarang kuliah kedokteran atau sedang meniti jadi dokter, kagum atas kegigihan mereka sekaligus mengkritisi perkembangan profesi kedokteran saat ini. Duh, ngelantur. Jadi gini, beberapa hari yang lalu adik lelaki saya terluka tangannya. Saat menarik dan menggulung benang layangan, tergoreslah jarinya cukup dalam. Adik perempuan saya berteriak-teriak panik memanggil saya yang sedang ada di kamar. Dia bilang darah yang keluar cukup banyak, ia tak kuat melihatnya. Bapak saya ngomel-ngomel, "Gimana tuh, guru begitu, kalo ada muridnya yang luka gimana?". FYI, adik perempuan saya adalah seorang guru TK.

Saya langsung ke beranda rumah dan mendapati sang adik lelaki duduk dekat keran sambil memegangi jarinya dengan kapas. Saya mencoba melihat lukanya dan memutuskan untuk mengganti kapasnya. Tiba-tiba sang adik perempuan datang dan menunjukkan kegelian dan kengeriannya terhadap darah sang bungsu yang memang mengalir deras. Setelah beberapa kali ganti kapas, darah sang bungsu masih deras. Sementara sang adik perempuan terus menunjukkan kengeriannya yang provokatif. Saya berfikir untuk membawanya ke paramedis dekat rumah, biarlah ia memutuskan akan diapakan luka si bungsu. Tapi sang bapak punya solusi yang berbeda. Tadinya saya tidak sepakat dan mau protes. Tapi tiba-tiba merasa pusing, mual sedemikian rupa, oek dua kali tapi tak ada yang keluar. Dari wastafel, saya berjalan ke kamar dengan keringat dingin. Sampai di kamar, saya melihat warna kunang-kunang persis seperti dulu waktu SD saat saya puasa tanpa sahur pada hari Senin bertepatan dengan upacara bendera. Karena sudah tau apa yang akan terjadi, segera saja saya rebahkan badan ini di tempat tidur. Intinya, saya hampir semaput. Itu, karena melihat darah memancar deras. Saya bersyukur tidak jadi dokter. 

Allah Maha Adil.

Hari ini, saya melihat-lihat kabar teman-teman lama melalui profil mereka di Facebook (FB). TIba-tiba rindu pada seorang teman ketika SD yang sekarang tinggal di Australia. Dulu, dia primadona sekolah, yah... rada-rada nyaingin saya gitu deh. Pintar, manis, banyak disukai anak lelaki, dan yang paling saya perhatikan adalah, ia pandai membawa diri. Kata-katanya selalu pilihan, sopan santunnya terjaga. Tambah lagi, ia pernah masuk tipi. Waktu itu stasiun TV swasta baru ada satu. Ia sekeluarga menang di sebuah acara kuis.  Gimana gak populer coba.... Ia juga dikenal sebagai anak baik-baik. Selalu duduk di depan, selain karena badannya mungil juga karena ia tak pernah mau ketinggalan penjelasan guru. Pulang sekolah selalu dijemput ayahnya. Dalam keadaan khusus, tukang becak yang sudah dipesan dari rumah akan menjemputnya sampai ke rumah. Kadang itu jadi bahan cemoohan, mengingat kami sudah kelas 6, sebentar lagi SMP, kok masih dijemput. Yang lain semua pasti selang-seling antara dijemput dengan naik angkot, atau berdesakan di  mobil jemputan langganan. Lebih lagi saya, tiap hari naik angkot, yang notabene saat itu masih jarang jadi harus berebut atau tebal muka ditolak sopir yang ga sudi mengangkut pelajar berongkos murah. Tapi itulah Si D. Selalu menurut orang tua. Bahkan waktu saya berkunjung ke rumahnya saat SMP, saat kami tak lagi bersua saban hari. Ia bilang ia tak mau pacaran sampai saatnya kuliah. Pokoknya harus belajar dulu, sekolah yang bener. Gak mikirin pacaran. Kalo kuliah kan udah dekat sama kerja-yang bagi kami saat itu, berarti mandiri.

Waktu SMA saya kehilangan kontak dengannya tapi lalu bertemu kawan semasa kecil,Y, yang kebetulan satu sekolah dengannya di SMA unggulan Jakarta Barat. Kawan saya itu sendiri, rival terkuat saya waktu kecil, sekaligus sahabat dekat. Kalau dia ranking 2, berarti saya ranking 1 nya, begitu juga sebaliknya. Nah, saat pertemuan itu, saya bertanya, "Kenal D ga? Dia temenku di SD yang baru." (Saya pindah sekolah waktu kelas 4 SD)
Dengan wajah penuh dendam sang kawan berkata, "Ih, Si D itu. Amit-amit. Pinter banget. Otaknya dari apaan sih, encer banget."
Saya senyam-senyum saja. Ternyata D masih cemerlang. Bahkan mungkin lebih cemerlang dari saya saat itu, karena semasa SMA saya gak pernah ranking 1.

Waktu pun berjalan, saya bertemu kembali dengannya di Friendster, tapi tak pernah bertukar kabar. Sekarang dia di Australia. Kabar yang waktu itu membuat saya semakin down. Betapa teman-teman telah membuat prestasi, betapa mereka telah punya kesempatan melihat dunia ini. Sementara saya masih begini-begini saja, masih belum berbuat apa-apa. Tetangga sudah mendapat beasiswa ke Australia, ada yang dengan kocek sendiri S2 di Eropa, ada yang bekerja keliling Nusantara, sementara saya keluar pulau saja masih bisa dhitung dengan jari, tangan, sebelah kanan. Tuhan, ijinkan hamba melihat dunia ini sebelum hamba menghadapMu.

Tapi hari ini, saya berkesempatan melihat-lihat profil D di FB. Coba lihat lebih jelas fotonya, oh dia lagi pelukan, tapi fotonya di-cropping. Lihat dindingnya, duh kok lelaki di sebelahnya itu gak pake baju sih. Yah, si D kan cerdas, pasti tau lah resikonya pacaran sama bule liberal. Eh ada foto yang ditambahkan temannya, coba lihat ukuran aslinya. Oh, tidak!! Yakh, pose-pose happy couple yang buat saya tidak pantas rasanya dilakukan di depan umum, dilihat orang lain. Oh, D. Begitu bebasnyakah pergaulanmu di sana? Kulihat saja album foto yang lain, tak sanggup lagi lihat yang itu. Kulihat pergaulannya, caranya berpakaian, bahasa tubuhnya. Duh, gak banget deh. Yeah, jangan bilang kalo saya gak ngerti bahwa di Jakarta juga banyak yang begitu. Bolehlah bilang saya norak, meski pun seumur hidup tinggal di ibu kota dan menghabiskan masa muda di Selatan Jakarta. Tapi bahkan teman SMA saya yang "terparah" pun gak gitu2 amat. I just don't recognize her anymore

Catuy boleh menulis tentang FB and Jealousy, tapi saat ini yang saya rasakan, FB and Gratefulness. Saya jadi bersyukur saya masih dijaga Allah dalam hidayahNya. Mungkin, saya memang belum siap untuk ke mana-mana. Belum siap pergi jauh-jauh dan bertemu bermacam orang yang kadang sangat dominan, atau bertemu lingkungan yang lebih menggoda iman. Datang wawancara di kantor Erma saja saya kecolongan salaman sama bule, entah karena gugup atau karena lemot setelah beberapa minggu nganggur (itu loh ma... herr yang jalannya aja menggetarkan lantai gedung). Ya Allah, ampuni hambaMu ini. Kau memang Yang Maha Adil. Aku harus mempersiapkan diri lebih baik lagi. But still, I have the dream O Dear Rabb. Jagalah aku selalu dalam lindunganMu, kuatkanlah genggamanku pada taliMu, peluklah erat dalam yakin kepadaMu.  


*pingin imun, bukan steril*

Thursday, June 11, 2009

Cerita Angkot # 1 : Kemoterapi

Supir angkot yang berjiwa muda itu tancap gas pol, se polnya gas yang bisa ditancap di jalan antar kecamatan itu. Malam beranjak larut. Di depan rumah sakit ia membanting setir dan berteriak ke orang yang sedang berdiri mengobrol, 
"Mi', mo pulang gak? Ayo!"
Naiklah 3 orang yang mengobrol itu. Sang supir bertanya lagi,
Supir :"Emang jatoh di mana Mi'?
Yang disebut Mi' :"Di kamar mandi, jatoh telentang dia."
Supir :"Udah kena berapa?"
Yang disebut Mi' :"9 juta. Masih belom sadar tapi."
Supir :"Emang kenapa?"
Yang disebut Mi' :"Ada darah ngumpul di kepalanya. Sadar si sadar, tapi dia ga bisa ngomong."
Supir :"Rumah Sakitnya nyanggupin?"
Yang disebut Mi' :"Masih si. Disuruh operasi tapi keluarganya gak ngasih."
Supir :"Operasi? Gimana sih tu dokter. Emang gak bisa di-KEMO apah???!"