journal of a learner

one effort to write. one effort to be a lifelong learner

Wednesday, September 22, 2010

Ceita Farhan # 3: Sandiwara

Kembali pada anak imut bernama Farhan. Baru-baru ini diketahui bahwa Farhan memiliki bakat yang tidak jauh berbeda dengan ayahnya: acting. Ceritanya begini:

Ayah sedang di kantor. Sendirian. Persiapan ujian tengah semester. Posisi Ayah sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum membuat Ayah merasa perlu melakukan pengecekan terakhir sebelum pelaksanaan UTS besok. Tiba-tiba Farhan datang. Sendirian. Ia berjalan kaki ke kantor Ayah yang tidak jauh dari rumahnya. Melihat Farhan datang, Ayah langsung menyuruhnya pulang karena Mama tidak di rumah sementara rumah ditinggalkan tak terkunci oleh Farhan. Selain itu Ayah tahu bahwa Shakira, teman Farhan, akan datang. Kasihan kalau Shakira datang ke rumah dan tidak menemukan siapa-siapa.

“Farhaaaan! Pulang!” perintah Ayah yang ke sekian kalinya yang tetap tidak diacuhkan Farhan.
“Ga mau ah aku mau main di sini,” Farhan ngeyel.
“Pulang! Nanti Shakira kasihan!”
“Ya Ayah aja yang pulang, bilangin Shakira biar kesini.”

Ayah yang sudah cukup pusing dengan urusan UTS dibuat makin gemas.
“Farhan gak mau dengar kata-kata Ayah ya!”
”Enggak. Farhan mau main. Aduh, Farhan mau pipis. Pipis sini aja ah,” kata Farhan sambil buka-bukaan.
”Eh Farhan! Jangan pipis di situ! Siapa yang ngajarin? Ayo pulang! Pipis di rumah!” Ayah mulai histeris.
Farhan malah pasang muka ngeledek.
”Farhan mau bikin Ayah marah ya?! Farhan minta disentil ya?!” Ayah mulai tak sabar.

Di saat yang sama, Mama terlihat di ujung jalan. Berjalan menuju mereka. Farhan menghambur.

”Mamaaaaaa! Mamaa! Tolong aku Mama!” Farhan mulai melancarkan acting-nya sementara Ayah mengejar di belakangnya.
Ketika sudah dekat, Farhan setengah merengek,
”Tolong Mama! Aku ditampar Ayah! Huhuhu.....” ia pun berpura-pura menangis.
Ayah melihat hanya bisa bengong anaknya berlagak seperti itu.

Manusia Memang Bisa Merencanakan Saja

Manusia merencanakan, Allah menentukan. Begitulah. Seperti suatu sore di Ramadhan kemarin.

Aku telah mengira-ngira agar segalanya tepat. Aku memperhitungkan akan membuat masakan yang terasa sedap, dengan anggaran yang harus kubatasi, pas untuk berdua saja, dan bisa selesai tepat sebelum maghrib saat berbuka puasa sehingga semuanya masih hangat dan segar saat dimakan. Aku juga ingin, saat waktu itu tiba, cucianku sudah terangkat dari mesin cuci dan terjemur di tambang belakang rumah mertua suamiku. Di saat yang sama, lantai rumah juga harus sudah kupel. Dan harusnya aku juga sudah mandi dan berdandan sehingga bisa menyambut suamiku pulang kerja. Lalu kami akan menunggu adzan maghrib bersama, berbuka puasa bersama. Setelah shalat maghrib, kami akan makan malam lalu berangkat tarawih di masjid. Segalanya harus tepat agar efisien.

Maka kumulai dengan berbelanja di tukang sayur yang membuka kiosnya di seberang jalan. Tadinya aku berpikir bisa membeli bahan-bahan segar di sana, lalu membeli makanan-makanan kaleng atau makanan beku di toko swalayan yang dicapai dengan 3 menit naik angkot. Selain sebagai pelengkap, juga sebagai simpanan jika suatu saat kami telat terbangun sahur atau aku dapat mengajukan alasan masuk akal untuk tidak ke tukang sayur. Ternyata di tukang sayur aku menemukan beberapa makanan awetan seperti baso, cireng siap goreng, otak-otak, nugget, sosis, dll. Jadi aku tidak perlu ke toko swalayan, hemat waktu, ongkos, dan energi.

Sampai di rumah, aku menghampar bahan-bahan yang kubeli dan berpikir-pikir apa yang bisa kubuat dari bahan-bahan tersebut. Kombinasi baso dengan tahu putihkah? Atau perkedel tahu dan sayur buncis? Apakah otak-otak akan disajikan saat berbuka atau sebagai lauk makan malam? Kuputuskan membuat sebuah kreasi tahu-sosis dan sup baso. Jika sup tidak habis, bisa dimakan lagi saat sahur. Jika tahu-sosis habis malam ini juga, aku akan menggoreng otak-otak untuk sahur.

Oke, tahu-sosis harus terhidang panas saat berbuka nanti. Maka setelah adonan siap, aku sisihkan dulu dan menggoreng kerupuk. Setelah itu baru kemudian kugoreng tahu sambil mencuci baso yang tadi sudah kuseduh dan mengiris sayuran kecil-kecil. Sebelum selesai menggoreng aku sudah mulai membuat sup. Keduanya siap hampir bersamaan. Lalu aku berlari ke rumah mertua suamiku yang berjarak beberapa meter dari kontrakanku, mengangkat pakaian yang kering dari jemuran dan menjemur pakaian yang masih ada dalam mesin cuci. Kembali di rumah, kucuci perabot lalu mengepel lantai. Setelah menyetel rice-cooker ke indikator cooking, aku mandi.

Pukul enam kurang sepuluh menit, nyonya rumah sudah cantik dan wangi. Tahu-sosis sudah cukup hangat untuk dimakan. Teh manis panas siap dituang ke gelas-gelas yang telah kuatur di samping tekonya. Brownies tiramisu yang kemarin dibawa suamiku dari Bandung terhidang di piring saji. Lantai rumah sudah wangi dan higienis, seperti yang tertulis di label botol obat pel. Kuperkirakan nasi akan tanak di saat kami akan makan, maka kami bisa makan nasi yang masih segar dan rice-cooker bisa langsung dicabut, hemat listrik. Semua harus efisien. Nyonya rumah duduk manis menunggu suaminya. Muncul godaan untuk mengirim pesan, tapi ia akhirnya memutuskan untuk tetap menunggu saja.

Pukul enam kurang lima menit, sebuah pesan masuk. Dari suamiku.

sedang menyimak ust.A*M* bicara

Aku baru ingat, sore ini suamiku diundang buka puasa bersama. Ah……apa pula arti segala usaha efisiensiku ini. Hahaha…

Tuesday, September 21, 2010

Cerita Fathir

Di sekitar rumah kontrakanku, ada beberapa anak kecil. Suamiku, yang mantan guru PAUD itu, memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka. Kalau suamiku sedang tidak di rumah, tidak sekali dua kali mereka datang ke rumah, memanggil nama suamiku, dan mencari kehadirannya. Salah satunya adalah Fathir, berumur tiga tahun, berambut ikal seperti suamiku, berbulu mata lentik, dan bersenyum dingin yang khas seperti ibunya.

Sore itu suamiku baru saja tiba dari kantornya. Itulah pertama kalinya aku menyambutnya di rumah, berperan sebagai istri. Turun dari motornya, ia pun mengucap salam sambil memberi senyuman yang sangaaat manis.
”Assalammualaikum.”
”Waalaikumsalam.” Aku pun tersenyum. Sedikit ragu, sedikit kaku, sedikit malu. Tadi pagi, sebelum ia berangkat, kami telah melakukan ritual perpisahan. Sepertinya ritual pertemuan pun akan lebih kurang sama. Aku melangkah satu kali mendekatinya, kami pun sudah berhadapan. Kucium tangannya tanda hormat, lalu ia lebih mendekat untuk mencium keningku. Ketika bibirnya mendarat di keningku, kudengar suara Fathir berkata,
”Idiiiiiih...lagi ngapain tu?”
Kami pun menengok padanya dan tertawa. Melihat wajahnya yang dinakal-nakalkan, kami pun tertawa lebih keras. Ah, jadi malu. Ritual pun disudahi.

**

Aku dan suamiku suka saling memanggil dengan panggilan yang bagus-bagus, termasuk “sayang”. Contohnya “Sayang mau teh tidak?”, “Istriku sayaaaang..”, “Sayang, tolong tutup jendelanya”, “Hati-hati bawa motornya ya yang!”, dan sebagainya. Di lokal petakan kontrakan kami, mungkin hanya aku dan suamiku yang seperti itu. Pasangan lain saling memanggil nama, atau sapaan orang tua seperti mama, ayah, ibu. Kalau pergi ke warung, jidat kami ini seperti ada stempelnya: Pengantin Baru.

Fathir mempunyai teman baik bernama Dwi. Rumah Dwi hanya berjarak satu rumah dengan rumahnya. Pagi-pagi baru bangun tidur pun Fathir bisa langsung mengajak Dwi bermain. Nah, pagi itu Dwi tidak terlihat di depan rumah. Mungkin masih tidur karena malamnya ia demam. Sementara Fathir sudah rapi, sudah mandi, ditandai dengan bedak yang membalur di keningnya. Tak sabar menunggu, Fathir pun memanggil,
“Duwwi........”
Tak ada jawaban.
“Duwiiiii, main yuuukk.......”
Tetap sepi.
Fathir pun mencoba lagi,
“Dwi sayaaaaang...... oh, Dwi sayangkuuuuuuuuuuu”
Aku pun tergelak.


**

Ahad di bulan Juni. Makan siang sudah tersedia. Hanya menu sederhana. Olahan dari telur dan makanan beku siap saji. Kutata di ruang depan. Lauk dan air. Piring, gelas, dan sendok. Terakhir panci magic com berisi nasi hangat. Alhamdulillah. Sungguh bersyukur kami memiliki makanan.

Suamiku duduk di sebelah kananku, menghadap ke pintu. Fathir lewat. Suamiku pun memanggil,
“Hei Fathir. Sudah makan belum? Makan yuk sama Om!”
”Engga ah, Fathir udah makan.”
”Pakai apa?”
”Pakai ayam”
”Oh, ya udah. Om sama tante makan dulu ya?!”
Fathir mengangguk.
Aku lalu menyendokkan nasi ke piring suamiku dan kuserahkan padanya. Sementara ia mengambil lauk, aku menyendokkan nasi ke piringku. Tiba-tiba Fathir berkata,
”Om mau disuapin yaaaaa?” sambil menunjuk ke suamiku dengan wajah menggoda.
Kami yang belum mengerti maksud Fathir pun menjawab,
”Enggak dong. Kan udah gede. Suap sendiri. Fathir juga ya, kalo makan suap sendiri, apalagi kalo ibu lagi repot.”
“Iya Fathir, kalo udah gede suap sendiri, kayak abang Fathir.”
Tak disangka, Fathir menjawab,
“Ah, waktu itu om disuapin. Hayoooo ooom...waktu itu Fathir liat om disuapin sama tante. Iya kaaaan....?”
Kami pun tertawa sambil meringis, bertanya-tanya, kapan ya dia melihatnya, adegan apalagi yang telah ia tangkap melalui jendela rumah kami. Haha....

Ojek Mesra

Malam belum begitu larut. Aku berdiri di depan lobby rumah sakit setelah menebus resep untuk kakakku. Sebuah sedan melintas di depanku, pengemudinya memasukkan karcis parkir ke kantongnya sementara jendela mobilnya otomatis menutup. Lalu beberapa motor juga melewatiku. Kebanyakan berboncengan. Petugas parkir dan satpam bekerjasama mengarahkan pengendara motor yang mau keluar agar melalui jalur yang benar. Sebagian mereka memilih jalur pintas yang menerabas jalur masuk. Seorang pengendara motor membawa tunggangannya meliuk-liuk, zigzag, mendahului motor-motor lain dan deretan mobil yang antri ke lahan parkir lebih dulu. Untung sudah di rumah sakit, pikirku.

Lalu kulihat seorang laki-laki meluncur keluar dari tempat parkir ke arahku. Berhenti di depanku.
“Ayo neng, diantar…sampe Kepangan?” katanya ramah, penuh senyum.
“Berapa bang?” tanyaku.
“Tiga ribu,” jawabnya. Masih dengan senyum yang penuh.
”Wah murah...ayolah,” sambutku. Tarif demikian terhitung sangat murah untuk ukuran jarak dan kebiasaan di tempatku. Tapi lalu laki-laki itu berkata,
”Tapi tidurnya sama saya ya neng!”
#@$%^&**@#$%^

Untung yang ngomong gitu suami sendiri.. :D