journal of a learner

one effort to write. one effort to be a lifelong learner

Wednesday, April 12, 2006

Menyalurkan Nafsu

Doug Fraust dari Playstation Magazine mengatakan bahwa kekerasan sudah ada dalam naluri kita. “Adalah keliru jika mengasumsikan hanya karena sarat kekerasan, video game menyebabkan kekerasan hadir dalam masyarakat kita. Justru sebaliknya, video game memungkinkan anak-anak yang secara alamiah agresif menyalurkan sifat itu dalam bentuk permainan khayalan, bukan bertindak kekerasan terhadap orang lain.” Pernyataan ini pun menyublim dalam strategi promosi produk-produk game. Contohnya: “Vigilance menyalurkan naluri kekerasan yang ada dalam dirimu dengan cara yang baik”, atau “Bertindaklah secara lokal, mengganaslah secara global, salurkan potensi kebuasanmu” (John Naisbitt, High Tech High Touch, 2001).

Hal ini membuat saya bertanya-tanya, benarkah hal itu? Kekerasan mungkin saja sudah ada dalam diri kita, seperti tenaga yang ada dalam air tenang yang dalam, seperti kekuatan yang terkandung dalam bambu petung yang halus dan lentur. Tapi haruskah disalurkan dengan cara seperti itu? Bukankah itu justru membuat seseorang ingin melakukannya lagi? Saat itu, toh tidak ada korban. Lalu ia melakukannya lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Pada titik tertentu, yang berbeda-beda pada masing-masing orang, hal itu menyebabkan kekerasan sebagai kebiasaan. Sesuatu yang biasa ada. Perkembangannya, akan terasa kurang jika sesuatu yang biasa ada itu tidak ada. Kekerasan menjadi kebutuhan.

Bagaimana dengan anak-anak yang tidak agresif secara alami? Apakah mereka akan terpacu menjadi agresif juga dengan mengikuti pola permainan yang menuntut agresivitas?

Pembantaian Littleton di Colorado AS mungkin salah satu contoh yang paling ekstrim, tapi tidak berarti tidak mungkin (buktinya itu terjadi). 20 April 1999 di Columbine High School, 2 siswa menjadikan sekolah sebagai medan tempur, meledakkan bom-bom pipa rakitan sendiri, membidik teman-temannya dengan senjata laras pendek, menyandera puluhan siswa serta beberapa orang guru. Korban tewas terdiri dari seorang guru dan 14 siswa, termasuk 2 siswa pelaku pembantaian, 23 lainnya luka-luka, dan trauma pada seluruh negeri setelah 5 jam pengepungan.

Yang saya kritisi di sini bukanlah mengenai electronic game. Game hanyalah media, yang efeknya bergantung pada pengemasan pesannya, maka dari itu game pun dapat digunakan untuk pembelajaran (tanpa melupakan peran guru dan orangtua). Yang saya cermati adalah bagaimana nafsu kekerasan itu disalurkan. Benarkah akan baik jika nafsu kekerasan itu disalurkan dengan melakukan kekerasan itu sendiri? Take it to the surface and we’ll relieve. Seperti orang yang lega setelah menangis akibat ditinggalkan orang yang disayangi. Jujur saja, saya sendiri menikmati permainan pukul kepala anjing di Fun City. Kalau ada kepala anjing yang keluar dari lubangnya, cepat pukul dengan palugada, skor pun didapat. Setelah itu saya merasa lebih bersemangat, seperti ada mampatan yang terangkat. Tapi apa itu benar? Bagaimana dengan olahraga? Bukankah olahraga bagus untuk menyalurkan energi? (saya sendiri sangat jarang berolahraga). Bagaimana dengan beladiri (dengan aspek beladiri tentunya, bukan aspek seni, olahraga, apalagi spiritual)? Tidakkah itu bisa menyalurkan nafsu kekerasan?

Selain nafsu kekerasan, ada pula nafsu makan. Bagaimana dengan orang yang secara alamiah memiliki nafsu makan besar? Apakah penyalurannya dengan cara makan terus hingga nafsu itu terpenuhi? Sementara nafsu itu sendiri tidak akan habis. Muncullah eating disorder yang membawa pada kegemukan yang destruktif, menggerogoti self-esteem. Di sisi lain, nafsu makan yang terlalu dikekang disertai social anxiety terhadap tubuhnya sendiri mengakibatkan anoreksia dan bulimia.

Penyaluran yang diajukan Islam, dinyatakan dalam hadits Rasulullah Muhammad SAW yang menyatakan agar makan ketika lapar (ketika tubuh membutuhkan) dan berhenti makan sebelum kenyang. Sepertiga bagian perut untuk makanan, sepertiga bagian untuk air, dan sepertiga bagian untuk udara.

Masih berkaitan dengan nafsu manusia, Dr. Wimpie Pangkahila (ahli andrologi dan seksologi) punya pendapat soal nafsu seksual. Ia menyatakan, berdasarkan penelitian ilmiah di berbagai negara, pornografi justru merupakan katup pengaman yang berguna dalam budaya yang bersifat represif seksual. Ia melanjutkan, pemerkosaan dan kejahatan seks terhadap anak-anak justru dilakukan oleh mereka yang di masa remajanya kurang menerima rangsangan erotik.

Hal ini menimbulkan tanda tanya besar bagi saya. Benarkah mereka tidak akan memperkosa jika mereka mendapat rangsangan erotik yang mencukupi lewat pornografi? Kenyataan yang saya lihat justru sebaliknya. Dengan mudahnya akses terhadap pornografi, pelecehan terus berkembang. Pemerkosaan terjadi di mana-mana, dan bisa terjadi terhadap siapa saja. Entah itu nenek-nenek, perawan, janda, ABG, bahkan balita dan bayi! Pelakunya pun bisa siapa saja, anggota DPRD, guru, dukun, ayah tiri, bahkan ayah kandung! Anak-anak SD pun sudah ada yang melakukannya, setelah nonton film porno (bluefilm) mereka menirunya. Memperkosa tetangga sendiri.

Dalam sebuah koran ibukota, dituliskan bahwa pihak polisi menyatakan bahwa jumlah kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual meningkat tajam seiring denga derasnya peredaran VCD porno. Maka dari itu, mereka akan berusaha membasmi peredaran VCD haram tersebut. Semoga mereka istiqomah dalam pekerjaannya.

Maka, bukankah pornografi justru mengiring kita pada budaya represif seksual itu sendiri? Bukankah justru pornografi memicu terjadinya pemerkosaan alih-alih jadi penyaluran yang aman? Menurut saya, pornografi dan degradasi moral membentuk lingkaran setan, yang satu menyebabkan yang lain. Tapi pornografi sebagai katup pengaman? Saya sungguh mempertanyakan itu. Sama seperti pada kekerasan, penyaluran nafsu dengan cara itu (dalam hal ini pornografi) justru membuat individu menjadi menginginkan lagi dan lagi, menjadi kebiasaan, dan akhirnya kebutuhan.

Seperti yang ditunjukkan oleh sebuah studi tentang efek pornografi oleh Universitas Utah Amerika bahwa secara empiris dan klinis, pornografi bersifat progresif dan menimbulkan ketagihan pihak yang menkonsumsinya. Hasil studi memperkuat bahwa pornografi sangat mengancam kualitas moral dan intelektual, khususnya di kalangan generasi muda (Aliansi Komunitas Warga RI di Inggris, Koran Tempo, Minggu 26 Maret 2006).

Penyaluran yang diajukan Islam adalah menikah, bukan pornografi, bukan pula mengekang diri (selibat). Jika seseorang sudah tidak dapat menahan diri, baik dengan menahan pandangan maupun puasa, maka ia sangat disarankan (atau malah diwajibkan) untuk menikah. Menikah bukan hanya penyaluran biologis saja, tapi juga membawa konsekuensi berupa tanggung jawab, maka penyaluran dengan cara menikah lebih sehat secara fisik, psikis, maupun sosial.

Mungkin tidak akan ada habisnya jika kita berbicara tentang nafsu manusia karena manusia itu kompleks dan multidimensi. Namun secara garis besar, kita dapat membagi nafsu manusia menjadi tiga:

1. Nafsu yang baik, tenang (nafsu mutmainnah)

Yaitu nafsu untuk melakukan perbuatan baik, terjadi ketika diri/self/ruh mampu mengatasi diri sendiri (self control). Misalnya nafsu menolong orang lain, nafsu beribadah, nafsu nulis blog (halah!) :D

2. Nafsu yang menyebabkan kejahatan dan kerusakan (nafsu amarah)

Terjadi ketika ruh/self/diri tidak mampu mengatasi diri sendiri.

3. Nafsu Lawamah

Tejadi ketika tarik menarik dalam diri (antara self/ruh dengan diri sendiri). Pada saat inilah akal berfungsi, penentuan siapa yang menang dipengaruhi oleh kesadaran diri, ilmu, dan hidayah.

Ketiga nafsu tersebut digolongkan sebagai potensi manusia.

Demikian renungan saya, sampai tulisan ini selesai sebagian besar pertanyaan saya belum terjawab. Tulisan ini memang bukan untuk menjawab pertanyaan sendiri, tapi mengajak anda yang ingin berbagi.

MOMOGI

Sekali coba MOMOGI…. Pasti bikin mow mow lagi!...

Begitulah tulisan yang tertera di bungkus Momogi, jajanan favorit saya belakangan ini. Bukan hanya favorit, rasanya saya sudah agak terobsesi dengan Momogi. Seandainya warung dekat rumah selalu sedia Momogi, saya akan membelinya setiap hari sebanyak receh yang saya punya. Sayangnya, warung terdekat agak lama perputaran barangnya. Jadi dalam seminggu paling 2 hari saja persediaan Momogi di sana. Belinya harus bersaing pula dengan anak-anak TK Al-Hikmah di seberang warung itu, padahal warung itu menjual Momogi dengan harga yang minimal, cocok dengan minimalnya pendapatan saya, hanya Rp. 500. Sementara kalau kita ke Alfamart, harganya bisa lebih mahal, Rp. 545 atau Rp. 575, saya tidak ingat persis. Tadinya saya kira lebih murah, ternyata tidak. Mungkin untuk menutupi biaya AC. Lain lagi kalau di Labschool. Di warung kaki lima resmi di bawah pohon angsana dekat tukang somay, harga Momogi juga Rp. 500. Sayangnya, warung itu sangat lama perputaran barang jajanannya. Mungkin memang berfokus pada minuman dan rokok saja. Terakhir ke kampus, saya tidak menemukan Momogi di warung itu, maka saya beralih ke pedagang minuman yang ada di sebelah kanan kalau kita keluar dari gerbang Labschool, dekat tukang bakpao. Ternyata ada! Banyak lagi! Lumayan nih buat cemilan di warnet, pikir saya. Beli ah yang banyak, “Berapa bang?” Tanya saya untuk memastikan harga. Maklum, saya tau pedagang yang satu ini selalu menjual barang dengan harga lebih tinggi. “Seribu”, jawabnya. Anda bisa tebak kelanjutannya. Saya hanya membeli satu, sekedar untuk menghentikan kepenasaran saja.

Momogi yang saya suka, sangat spesifik. Yaitu Momogi Stick Chocolate. Kadang yang Stik Keju atau Stick Jagung Bakar (Kenapa Stick Chocolate tidak ditulis Stik Coklat saja ya oleh produsennya?). tapi saya tidak selalu suka keduanya, kadang-kadang saja. Stick Chocolate selalu saya suka. Selain itu ada varian-varian lain dari merk Momogi, tapi saya belum mencobanya. Momogi Stick sendiri merupakan snack berbahan dasar jagung. Mungkin saya memang suka snack-snack yang berbahan dasar jagung, bosan dengan snack berbahan dasar terigu. Snack berbahan dasar jagung lain yang saya suka adalah Serena Snack dari Nissin. Tapi Serena tidak ada yang rasa coklat. Perpaduan rasa jagung yang gurih dan coklat yang manis pada Momogi Stick Chocolate, terasa cocok bagi saya.

Di warung dekat rumah, kalau persediaan Momogi habis, ada gantinya. Merknya Masabo. Hanya tersedia rasa jagung bakar. Saya tidak terlalu suka. Tidak tau deh kalalu Anda. Saya juga tidak tau arti kata Momogi. Mungkin Anda tau? Buat saya kata itu terdengar ke-Jepang-Jepangan. Seperti Yoyogi, itu loh…. Stadion nasional Jepang waktu Olimpiade Tokyo 1964.

Sebenarnya saya ingin memperlihatkan gambar Momogi pada Anda, sayangnya saya belum punya scanner atau kamera digital. Yang jelas lambangnya sejenis beruang dan memiliki motto: sekali coba Momogi…. Pasti mow mow lagi………. (Khusus Stick Chocolate ada keterangan: vegetarian food).


Saya tidak ada hubungan langsung (hubungan tidak langsung juga sepertinya tidak ada) dengan produsen Momogi. Tulisan ini hanya mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pemikiran saya. Tidak ada maksud untuk mempromosikan, memasarkan lebih luas, atau menyinggung pihak-pihak tertentu).

Wanita di Samudra

Dalam buku Jepang Dewasa Ini yang diterbitkan The International Society for Educational Information, Inc. pada tahun 1989, dituliskan bahwa pada bulan April 1988 Badan Keselamatan Maritim (Jepang tentunya) mengangkat seorang wanita sebagai nahkoda kapal patroli untuk pertama kali dalam 40 tahun sejarahnya. Hal ini distimulasi oleh Tahun Wanita Internasional PBB pada tahun 1975 dan Dasawarsa Wanita PBB yang berakhir tahun 1985 sehingga pemerintah Jepang mulai mendesakkan tindakan tambahan dalam memajukan persamaan di tempat kerja. Pada bulan Mei 1985 Diet Nasional (Parlemen Jepang) menyetujui UU Kesempatan Bekerja Yang Sama, diberlakukan pada tanggal 1 April 1986. Tidak disebutkan nama nahkoda wanita tersebut.

Sementara di Indonesia, saya belum menemukan datanya.

Jauh sebelum abad ini, wanita Aceh telah berkesempatan dan berhasil memperlihatkan ketangguhannya di Samudra. Pemerintahan al-Mukammil membentuk Armada Inong Balee (Armada Janda) yang beranggotakan seribu janda para syuhada yang gugur dalam pertempuran di Teluk Haru melawan imperialis Portugis. Dalam perkembangannya banyak juga gadis yang menggabungkan diri. Inilah satu-satunya armada wanita dalam sejarah dunia (Amatullah Shaffiyah, Seorang Ibu Sebuah Dunia Berjuta Cinta, GIP, Jakarta 2002).

Armada ini dikomandoi oleh Laksamana Keumalahayati (Malahayati), lulusan Akademi Militer Baital Maqdis yang berdiri pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Ri’ayat Syah Al-Qahhar (1537-1571 M) di Aceh. Keperwiraan Laksamana Malahayati dan armadanya disegani lawan. Pada tanggal 21 Juni 1599, Cornelis de Houtman dan adiknya, Fredericjk de Houtman membawa armada dagangnya merapat di pelabuhan Aceh. Sultan al-Mukammil menerima mereka sebagai rekanan dagang sewajarnya. Namun setelah terbukti bahwa mereka membuat kekacauan dengan memanipulasi perdagangan, menghasut, dan menimbulkan keributan, Sultan mengusir mereka. Karena dipersenjatai oleh Pemerintah Hindia Belanda, Houtman bersaudara pun membangkang dan menyerang. Sultan menugaskan Laksamana Malahayati untuk menggempur mereka. Cornelis de Houtman tewas di tangan Laksamana Malahayati sendiri, Fredericjk de Houtman ditawan dan sisanya terluka. Peristiwa ini menimbulkan pengakuan lebih jauh atas ketangguhan mereka, Marie Van Zuchtelen pun khusus mengabadikannya dalam buku Vrouwelijke Admiraal Malahayati.

Jikalau kita meneropong lebih jauh lagi, kita akan menemukan keperwiraan wanita di samudra yang lain. Ummu Haram adalah seorang shahabiyyat. Beliau bergabung dalam armada penaklukan Kepulauan Cyprus dan syahid di sana.

I Just Started It

wonk ikhsan: dari dulu diajakin nge-blog
wonk ikhsan: baru mau sekarang

Begitu tulis teman saya di YM, mungkin kalau diucapkan, nada bicaranya akan bernada antara menggoda dengan mengejek. Seperti mpok-mpok mengatakan “dari kemaren dipanggilin baru nongol ni ari, kemane aje?’.

wpurtini: dari dulu udah mau
wpurtini: baru mulai sekarang

Di media yang sama saya menjawab.

Memang sudah lama dia mengajak saya untuk menulis di blog. Sejak saya masih terdaftar sebagai mahasiswa UNJ. Sekitar satu atau satu setengah tahun yang lalu.

wonk ikhsan: suka nulis gak?
wonk ikhsan: gimana kalo nulis online aja?gampang kok

Begitu katanya sambil memberikan alamat blognya sendiri. Sayangnya, saya tidak tertarik. Saya pikir, bagaimana mengurusnya. Jangankan untuk mengurus, untuk mempelajarinya saja tentu perlu koneksi internet. Sementara warnet di sekitar UNJ masih dapat dihitung jari tangan, mungkin tangan kanan saja, dial up pula. Saya juga tak dapat mengandalkan labkom jurusan yang kadang online kadang tidak itu. Modal komputer dan jaringan sendiri? Wallahu a’lam bisanya.

Seiring dengan penyusunan skripsi, saya bertemu dengan orang-orang yang begitu dekat dengan internet. Ternyata mereka juga membangun blog sendiri. Misalnya Anduz dengan blueboxnya dan Pak Widi yang memisahkan antara blog pribadi dengan pekerjaan seninya. Tapi tidak semua mereka membuat blog. Pak Arif yang menjadi narasumber utama saya, tidak menulis blog (atau belum barangkali). Tapi beliau memang mengurus banyak hal lain sih, he had two jobs. Lalu saya juga berkenalan dengan Budhi. Blognya lebih sederhana dan kesederhanaan itu membuat saya berpikir, “Ini sih mestinya gue juga bisa". Waktu itu di Friendster juga muncul fasilitas blog. “Wah makin gampang nih bikin blog.” Membaca blognya Catuy, membuat saya lebih tertarik. Membaca blognya Panji (simak judulnya waktu itu: go blog panji sehingga prenster) membuat saya makin tertarik. Ada tulisan Panji ketika itu yang seakan-akan mencerminkan perasaanku sendiri. Begini bunyinya, “rasa ingin tahu panji semakin menjadi-jadi, mirip hulk tapi belon jadi hulk, baru pemanasan gitu. karena ingin tahu, panji iseng ngeliat blognya si XpatpatX.. ooohhh... ternyata begituh isinya... ya sudah deh, ikutan aja deh (ikut2 lebih tepatnya)“. Wah, kalau Panji sudah ikut kenapa saya belum? (jiwa ikut-ikutannya ikutan muncul). Tapi setelah saya melihat-lihat blog teman-teman Friendster, rasanya kok begitu-begitu saja. Hanya tulisan iseng yang hanya bermakna bagi penulisnya, tidak bagi saya pembacanya, kecuali saya berminat untuk mengamati tulisan orang itu lebih lanjut.

budhi norack: blog kan kayak diary
budhi norack: terserah kita mo gimana nulisnya

Bagi saya, tulisan adalah sebuah identitas. Sebuah ciri khas. Seperti sidik jari. Tulisan setiap orang berbeda, karena tiap orang adalah individu yang unik. Setelah beberapa mengamati tulisan teman-teman, saya makin dapat membedakan tulisan dan blog mereka. Ada yang menginspirasi, ada yang tidak. Salah satu yang menginspirasi adalah blog keluarga Ismail Fahmi. Enak dilihat, susunannya baik, dan tulisannya juga oke. Nampaknya mereka hendak menjadikan menulis sebagai kebutuhan. Their blog looks like a home, a home for them. Di mading jurusan, terpampang tulisan mengenai blog. Sebenarnya itu artikel koran yang difotokopi (mungkin fotokopi perbesar) lalu ditempel di sana. Entah siapa yang melakukannya. Artikel itu lama bertahan di mading jurusan, sampai kumal. Entah karena memang menarik minat TPers atau karena sifatnya features jadi ia tak mudah tergusur seperti kertas-kertas pengumuman jadwal kuliah, syarat-syarat beasiswa, dll.

Inspirasi sudah banyak, niat sudah ada, tapi saya tetap malas nge-blog.

wpurtini: aku takut klo nanti brenti di tengah jalan
wpurtini: aku takut klo nanti aku brenti ngeblog, nanti ngecewain yg baca
(uh, serasa bakal ada yang baca gitu…. sebenarnya sih takut mengecewakan diri sendiri)

budhi norack : kenapa harus mikirin yg baca?
wpurtini : karena aku sendiri kecewa klo org yg blognya suka kubaca, brenti nulis.

Saya kecewa ketika Avianto memutuskan out dari dunia blogging. His website is quite fun, beautiful, and inspiring. Not just that, website itu juga yang membawa saya pada dunia blogging yang lebih luas. Pada blog-blog yang menarik. Pada blogger-blogger yang lebih beragam karakternya. Tapi ia memutuskan untuk berhenti (tapi sepertinya untuk kembali berjalan nanti, “ah sok tau kenal aja engga”).

Penelusuran website Avianto juga membawa saya pada Apa Saja Podcast, yang juga dibuat oleh Avianto. Awalnya saya hanya memanfaatkan podcast itu untuk bisa mendengar lagu CozyStreetCorner secara gratis. Kemudian saya coba mendengar entry-entry yang lain, sebenarnya karena bosan mendengar musik pilihan operator warnet.

Sungguh Allah yang telah menentukan segalanya. Di tengah hingar bingar musik suguhan operator warnet, di antara suara podcast yang direkam secara tidak profesional, saya mendengar Avianto berkata, “Mulailah, karena memulai itu yang sulit,” begitu kira-kira (saya tidak ingat persis, saya juga tidak mendengar keseluruhan entry itu, saya sudah tulis tadi, waktu itu berisik).

Itu bukan kali pertama saya mendengar nasihat seperti itu. Tapi kali ini timingnya begitu tepat. Berikutnya saya ke warnet, saya mulai blog saya. Kalau orang-orang berkata, ingat blog ingat Enda, maka berbedalah mereka dengan saya. Ingat blog, ingat Avianto. Mungkin begitu saya akan berkata. Atau mungkin juga, ingat blog ingat Ikhsan. Soalnya, baru saja saya mengakrabkan diri dengan tool-tool yang ada di sini, Ikhsan sudah berbaik hati menawarkan diri, “Mo didandanin gak blognya?” Hehe… thanks to Ikhsan and all of people who gave me inspiration. Bismillah, I just started it ;)

Friday, April 07, 2006

Tanggapan atas Dr. Ioanes

Tulisan ini merupakan tanggapan saya atas tulisan Dr. Ioanes Rakhmat yang dimuat dalam Koran Tempo, Minggu 26 Maret 2006 berjudul Pornografi dalam Teks-teks Keagamaan.

Dalam tulisan tersebut Dr. Ioanes mencukil beberapa isi buku sebagai wakil dari teks-teks keagamaan. Yang menjadi rujukan beliau adalah tulisan-tulisan Jalaluddin Rumi dan Alkitab yaitu Kitab Kidung Agung dalam kanon Perjanjian Lama. Dipaparkan bahwa dalam tulisan Rumi yang sufi itu dan dalam Kitab Kidung Agung terdapat sentuhan erotis sensual pada beberapa teksnya. Maka beliau menegaskan bahwa teks-teks keagamaan ternyata bisa tidak terlepas dari pornografi, jadi penting untuk mengetahui tujuan orang ketika ia memakai dan mengajukan teks atau gambar porno sebelum kita menjatuhkan atasnya vonis moral, legal, ataupun politis.

Tanggapan pertama, mengapa Dr. Ioanes hanya membahas teks-teks keagamaan dari 2 agama saja, padahal ada 6 agama resmi di Indonesia. Menurut saya akan lebih baik jika teks keagamaan dari agama-agama lain terutama Hindu juga dibahas mengingat umat Hindulah yang selama ini merasa tidak sependapat dengan umat Islam dan Kristen dalam memandang porno-tidaknya sesuatu. Seperti misalnya pada tulisan jiwamerdeka mengenai Dewa Achintya-nya (Cerpen Abu Bakar). Selain itu, menampilkan teks keagamaan dari 2 agama saja dikhawatirkan mengarah pada pembandingan 2 agama tersebut.

Tanggapan kedua, mengenai teks yang digunakan/dibahas yaitu tulisan sufi Jalaluddin Rumi dan Kitab Kidung Agung dalam Kanon Perjanjian Lama. Saya sendiri tidak mengerti kedudukan Kitab Kidung Agung tersebut bagi umat Kristiani. Saya hanya bisa memperkirakan bahwa sebagai bagian dari Alkitab, kitab suci gereja, maka Kitab Kidung Agung berperan sebagai pedoman umat Kristiani seperti halnya Alkitab itu sendiri.

Hal ini berbeda jauh dengan tulisan-tulisan Jalaluddin Rumi. Rumi adalah seorang sufi dan penyair setelah jaman Rasulullah dan kekhalifahan (Khulafaur Rasyidin, 632-661 M). Sebagai seorang sufi yang mendalami sufisme (tasawuf), Rumi (1207-1273 M) dapat menyentuh umat manusia lintas agama karena tasawuf sendiri menghendaki hakikat cinta antara manusia dengan Tuhannya, tidak peduli manusia mana agama apa. Bahkan pada satu titik, penganut tasawuf menginginkan derajat untuk bisa bersatu dengan Tuhannya seperti halnya sepasang kekasih yang ingin menyatu, bisa merasakan dan mencintai satu sama lain secara utuh. Namun tulisan-tulisan Jalaluddin Rumi bukanlah pedoman bagi umat Islam, bukan pedoman beribadah bukan pula pedoman hidup. Pedoman hidup umat Islam adalah Al-Quran dan pegangannya adalah Al-Hadits (As-Sunnah). Adanya tulisan-tulisan dari para imam dan ulama merupakan ijtihad (usaha) yang dilakukan umat muslim untuk memahami pedoman hidup tersebut. Ijtihad itu sendiri terus diperbaiki dan dikembangkan sesuai konteks umat pada jamannya.

Dilihat dari segi bahasa, imbuhan ke-an dapat menyatakan tempat atau daerah seperti pada kata kerajaan; menyatakan hal atau peristiwa seperti pada kata kebersihan, kewajiban; menyatakan kena atau menderita sesuatu seperti pada kata kedinginan; dan menyatakan dapat di- seperti pada kata ketahuan (Fasih Berbahasa Indonesia, Gorys Keraf dan Frans Asisi Datang, Penerbit Erlangga, 1997). Arti imbuhan ke-an yang paling cocok untuk ‘keagamaan’ adalah yang menyatakan hal atau peristiwa. Jadi teks keagamaan berarti teks mengenai hal agama. Maka teks keagamaan dapat mencakup segala teks mengenai agama: kitab suci agama, buku pelajaran agama, kumpulan syair mengenai agama, buku konsultasi agama, dan banyak lagi.

Jadi teks keagamaan dalam kapasitas apa yang sebenarnya hendak dibahas oleh Dr.Ioanes? Rasanya tidak adil jika tulisan seorang sufi disejajar-bandingkan dengan (bagian) Alkitab.


Tuesday, April 04, 2006

Have You Ever Ignore Someone on Yahoo Messenger?

Since I know, amazed by, and use Yahoo Messenger (YM) by 2003, I got some quite interesting experiences. One of those experiences is “to ignore” and “got ignored”. It was interesting because in the real life, I never really can do that. I can never really ignore someone even though I felt annoyed by her/him. And no one really ignore me cause when I know someone feel inconvenient with my presence, I will not distract him/her further. In this case, I got high self-defense. :D

First person, and the only one so far, that I ignored is someone from Pakistan. I “met” him in Jakarta Global Chat room in my early days use YM. I never add him to my friend list and I know if I didn’t add someone to my friend list, there’s only 2 possibilities, forgot and dislike.

By the time he sent me offline messages, I didn’t really remember who he was. So my reply is just, “hi”, “how are you”, “thank you”, sort of. But after couple more offline messages, then I know that he just a teaser, very romantic teaser. I thought, there will be no advantage for me, nor him, to reply the messages. It’s not the conversation I want to have with my chat friend. So I ignore him.

On the other side, I got ignored by someone else. Well, it happens recently. He claimed himself as conservative internet user. He doesn’t like to receive mass messages from me coz it’s abusive, but he didn’t tell me from the beginning. So, I didn’t know (I am completely newbie on netiquette). Until one day we got into conversation and he told me about his objection. I told him that I was sorry and I got interested to know more about media abusing. But it seems like there was miscommunication between us. Instead of having knowledge sharing, we fall into emotionally exhausting debate. After that, he never replies my messages again. Not in million years may be.

My friend, Roni, have ignore someone, 2 persons in fact. He said “ They like to give me bomb every morning”. Hei hei hei, what did he mean by “bomb”? Is it mass messages? Pfiuh, fortunately Roni didn’t ignore me, may be my mass messages didn’t across his limit :D

How about yourself? Have you ever ignored someone? Have you got ignored by someone? Well, may be it just part of having chat on YM. May be it’s not as serious as build “silaturahim” in real life.

Ngalor Ngidul Soal PNS

Dalam periode penyaringan PNS tahun ini, sedikitnya ada 3 teman baik saya yang lolos, satu orang di Pustekkom Depdiknas, satu orang di Perpusnas, dan satu orang lagi di Bappenas. Di tengah kesepian saya akibat lama tidak bertemu teman-teman kampus dan belum menemukan lingkungan baru semenyenangkan mereka, hal ini sempat menimbulkan iri dalam hati. Tapi rasanya ragu pula mengizinkan hati ini untuk iri. Selain iri termasuk penyakit hati yang tak sebaiknya dipelihara, saya juga ragu apakah saya juga ingin jadi PNS.

Terus terang saja. Saya sempat berkeinginan besar untuk bekerja di Pustekkom. Menurut saya, Pustekkom adalah lembaga yang strategis untuk mengembangkan pembelajaran bagi bangsa Indonesia yang plural dan variatif secara geografis. Jika Pemerintah lebih memperhatikan pendidikan dan merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, di bawah kepemimpinan yang handal dalam manajemen yang tepat, Pustekkom tentu akan lebih produktif. It’s my dream.

Terlepas dari angan-angan yang entah kapan kesampaian, Pustekkom tetap mempesona bagi saya. Tidakkah menyenangkan bekerja di tempat kita dapat mengimplementasi ilmu kita? Tidakkah menyenangkan bekerja di tempat kita dapat mengaktualisasikan diri kita tanpa selalu ditanya “Teknologi pendidikan apaan sih?”. Tidakkah menyenangkan bekerja di tempat yang secara optimal mengakomodir kita menjadi insan yang bermanfaat sesuai keahlian kita? It’s my passion.

Tapi haruskah saya menjadi PNS untuk bisa bekerja di Pustekkom? Tidak bisakah saya bekerja paruh waktu di sana? Seperti Catuy yang pekerja kontrak di Bappenas, atau seperti Sudirman Siahaan, dosen yang merangkap peneliti di Pustekkom. Atau saya harus jadi dosen dulu? Berapa lama lagi?

Di salah satu koran ibukota, saya mengetahui bahwa ada seorang pria sudah 5 kali ikut ujian CPNS dan gagal. “Hebatnya”, ia tidak meyerah. Tahun depan ia akan mencoba lagi karena cita-citanya adalah ketenangan di masa tua dengan uang pensiun. It’s his passion.

PNS juga pekerjaan yang baik, terhormat (halal). Hanya saja, sekeluar saya dari kampus ingin rasanya menghirup atmosfer lingkungan kerja lain, menempati lahan yang lebih baik dan tidak sebirokratis itu. Mungkin di masa depan, pada satu titik saya akan berpikiran sama dengan pria tadi. Mungkin saya akan berpikiran sama dengan para guru bantu yang kini berjuang hingga ke jalan demi pengangkatan mereka. Mungkin juga, pikiran saya sudah sama. Entahlah.

Ada 2 golongan manusia yang tidak akan pernah mengubah pendirian, pengertian, dan pendapatnya, yaitu orang gila dan orang mati.”

Analisa Planet Teh

“ Buang aku ke Planet Teh!”, katanya penuh semangat disertai binar mata yang jenaka. Itu bukanlah pernyataan putus asa sampai merasa harus membuang diri, ke planet teh pula yang entah di nun mana. Itu adalah pernyataan kesukaannya terhadap sesuatu. Itu menurutku.

Dari kalimatnya dapat diketahui 2 hal yang disukainya, yaitu teh dan planet (hal-hal yang berkenaan dengan astronomi). Dari gaya bicaranya dapat diketahui pula bahwa ia suka menggunakan kata-kata yang berkonotasi negatif. Ironis dengan wajahnya yang cerah dan suaranya yang riang. Ia lebih memilih memakai kata “buang aku”, bukan “bawa aku” atau “aku mau”. Baginya kata berkonotasi negatif justru asyik untuk digunakan karena orang jadi langsung pay attention terhadapnya. Kadang malah menjadi kelucuan tersendiri baginya atau bagi teman-temannya. Apakah ini pertanda bahwa ia sedang mengeksplorasi bahasa? Atau ia memang suka bermain dengan kata-kata dan mencoba memahami respon sosial atas kata-kata itu?

Aku tau dia sangat suka minum teh. Baginya minum teh di pagi hari sungguh menyegarkan. Wangi melatinya merangsang indra pengecapnya untuk terus menikmati teh seduhan ibunya. Berbeda dengan bau susu yang justru mengirim “sinyal negatif" ke otaknya sehingga memerintahkan mulutnya berkata “Gak mau!”. Dia bukan tidak suka minum susu, dia hanya tidak suka baunya. Susu coklat favoritnya, susu vanilla dia juga suka, susu rasa buah tak akan ditolaknya. Hanya saja dia tidak suka bau susu sehingga kadang-kadang dia masih meminumnya dengan botol agar bau susu tak tercium olehnya. Aku tak tau penyebab ia tak suka bau susu. Mungkin memang “sudah dari sononya” (tapi aku meragukan opsi ini), mungkin pula ia pernah punya pengalaman tak menyenangkan dengan bau susu. Mungkin ia pernah mencium bau susu basi. Mirip dengan sejarah mengapa kakak perempuannya tidak suka makan pepaya, yaitu karena waktu kecil pernah accidently makan pepaya busuk sehingga meninggalkan “trauma” baginya. Atau mungkin ia pernah mencium bau susu sambil melihat atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Mungkin juga karena ia memang tidak pernah meyukai bau-bau menyengat (menyengat dalam ukurannya tentunya). Yang jelas ia suka minum teh.

Selain suka minum teh di pagi hari, ia juga suka melakukannya di siang hari atau sela-sela waktu senggangnya (anda tau berapa banyak waktu senggang yang dimiliki anak umur 5 tahun?). sepulang sekolah ia akan mendatangi meja makan dan mencari secangkir teh sisa tadi pagi. Minum teh sepulang sekolah membuatnya segar kembali. Aku tau itu karena ia sering mengerjap-ngerjapkan matanya sambil mulutnya terus mengokop teh. Setelah itu ia siap untuk mengerjakan PR atau keliling-keliling main sepeda.

Teh hangat di malam hari kadang jadi permintaannya. Kadang sebelum tidur, kadang sembari main ular tangga. Seakan dengan minum teh dapat membuatnya relaksasi. Aku jadi bingung, sebenarnya teh itu mengandung zat yang menyegarkan (energizing) ataukah yang membuat tenang (relaxing)? Hal itu berlaku keduanya bagi dia. Kebingungan yang lain adalah, sebenarnya teh mengandung zat pencegah kanker atau justru penyebab kanker? Tulisan tentang teh mampu mencegah kanker pernah kubaca, artikel koran tentang teh sebagai penyebab kanker juga pernah didiskusikan dalam siatu forum yang kuhadiri. Kesimpulanku ketika itu, teh itu baik selama tidak berlebih-lebihan dalam mengkonsumsinya karena segala hal yang berlebih-lebihan itu tidak baik dan tidak disukai.

Lalu di mana batas konsumsi teh bagi anak 5 tahun? Kakak perempuannya sering bilang padanya “Jangan terlalu sering minum teh nanti kamu kontet”. Apa benar ada hubungan antara konsumsi teh dengan pertumbuhan badan? Apakah itu hanya mitos? Anyone can explain it to me please?

Ia suka sekali hal-hal astronomis. Ia lebih suka bermain “Menjelajahi Tata Surya bersama Ovaltine” daripada ular tangga bergambar Dora & SpongeBob, tokoh kartun favoritnya. Ia juga berulang-ulang menyetel VCD “Penciptaan Alam Semesta” Harun Yahya yang dimukadimahi gambaran galaksi Bimasakti dan tata surya kita.

Mungkin dalam bayangannya Planet Teh adalah tempat yang berbeda sama sekali dengan tempat tinggalnya sekarang. Tempat ia bisa minum teh kapan saja, sebanyak ia mau. Ia juga bisa melihat beragam jenis teh, teh hijau, teh merah, teh hitam, teh seperti yang diminum Sinchan, teh yang diminum raja negaranya Mr. Bean, dan teh lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Ia sering mengasosiasikan planet sebagai segala hal di luar dirinya dan seperti banyak hal lain di luar dirinya, planet tidak selalu sulit dijangkau. Planet Pluto mungkin sulit dijangkau karena jauh dari matahari seperti yang ia lihat pada lembar permainan “Menjelajahi Tata Surya” yang dibuat pada tahun 90an, tapi Planet Jupiter tidak terlalu jauh. Hanya terpisah 1 planet dengan Bumi, yaitu Mars. Jupiter cukup besar, cukup untuk menampung semua temannya. Baginya belum pernah ke Jupiter sama saja dengan belum pernah ke Sepang Malaysia tempat balap mobil F1 kesukaannya.

Lalu di mana letak Planet Teh? Di mana ia menempatkan Planet Teh dalam pikirannya? Di galaksi Bimasaktikah? Atau di luarnya? Sebuah galaksi lain yang juga imajinatif? Apakah ini fase yang harus dilaluinya dalam pengembangan kecerdasan spasial? Kuputuskan untuk membiarkannya berproses. Saat ini aku hanya bisa mempersiapkan dadu, orang-orangan, dan secangkir teh manis hangat untuk bermain “Menjelajahi Tata Surya” bersamanya.