journal of a learner

one effort to write. one effort to be a lifelong learner

Sunday, November 21, 2010

Cerita Fathir # 2: Majalah

Lama tak pulang ke kontrakan di Tangerang, saya mendapat cerita tentang Fathir dari suami. Suami saya mendapat cerita ini dari Ibu Fathir. Ibu Fathir adalah seorang wanita muda berwajah manis yang energik tapi dilarang melompat-lompat oleh tetangganya karena dikhawatirkan akan menimbulkan gempa lokal.

Ceritanya, Ibu Fathir membeli majalah wanita. Tema utamanya: menjaga agar hubungan suami istri tetap mesra. Majalah tersebut diletakkan Ibu begitu saja di kontrakan mereka. Meski Fathir belum dapat membaca, ia dapat mengerti gambar-gambar yang dipajang besar-besar di halaman majalah itu. Ibu Fathir mendapati, setiap kali Fathir membolak-balik majalah itu, ia selalu tersenyum-senyum sendiri. Kadang malah tertawa.

Rupanya, Fathir selalu tertawa setiap ia melihat gambar pasangan suami istri dengan pose sang suami menggendong sang istri. Karena penasaran, Ibu pun bertanya,
“Fathir kenapa ketawa?”
Masih sambil tertawa, Fathir menjawab,
“Kok Fathir gak pernah liat Ayah gendong Ibu, kayak gini?”
Ibu yang terkejut dengan jawaban Fathir mengambil majalah dari tangan Fathir sambil berkata, “Sudah! Gak usah liat-liat majalah ini lagi!”. Majalah pun kini disimpan rapi.

Sunday, November 14, 2010

Bangga

Sahabat, kadang membuat kita bersuka cita, tentu saja. Kadang membuat kita kesal, gemas, sedih, atau bahkan marah. Membangun sebuah hubungan adalah salah satu esensi dalam pembelajaran kehidupan. Maka segala rasa dalam hati dapat terpancing ke luar saat kita berinteraksi dengan orang lain yang (melalui proses) menjadi dekat dengan kita tersebut.

Di hari yang panas itu, sahabatku mengantar si nona pilih-pilih menjelajah mal di daerah Kuningan, Jakarta. Berujung pada frasa: tanpa hasil, si nona pilih-pilih meneruskan penculikan terhadap sahabatku yang pengantin baru itu dan menyeretnya ke Pasar Jatinegara, Mester.

Si nona pilih-pilih, mau mencari cinderamata untuk para tamu yang akan datang di hari pernikahannya. Setelah melihat-lihat, menimbang-nimbang, menanya-nanya harga, hati si nona pilih-pilih tidak tergerak untuk menggeser pilihan dari barang yang sudah ia taksir sebelumnya. Yang nona pilih-pilih inginkan untuk cinderamata adalah barang yang bermanfaat, ringan, dan terjangkau kantongnya. Dalam pikiran si nona pilih-pilih, ada 2 pilihan, kipas bordir atau handuk kecil (towel cake). Itu pun dengan catatan samping: handuk dapat dipakai saat cuaca panas (sebagai lap keringat) dan hujan (sebagai lap air), sementara kipas hanya terpakai saat cuaca panas.lagipula kipas biasanya tidak dipakai oleh tamu laki-laki. Jadi handuk punya 2 poin lebih.

Beberapa pilihan towel cake disajikan di hadapan si nona pilih-pilih oleh si mbak penjaga toko. Si nona pilih-pilih tidak puas memilih jika ia tidak dapat melihat bentuk asli dan merasakan tekstur handuk yang dipakai dalam cinderamata itu. Si mbak penjaga toko bilang, “Saya gak bisa gulungnya lagi nanti.” Dilematis. Tapi tak lama kemudian, saat si nona pilih-pilih melihat-lihat cinderamata yang lain, si mbak penjaga toko memberi 2 sampel handuk. Keduanya tidak memuaskan si nona pilih-pilih. Bahkan harganya termasuk yang termahal di antara cinderamata yang dijual di sana. Si nona pilih-pilih diam. Memutar otak. Jika dengan harga begitu mahal saja saya tetap tidak puas, buat apa saya beli, tanyanya dalam benak.
Si mbak penjaga toko lalu berkata pada si nona pilih-pilih, “Udahlah mbak, mau dikasih ke orang (lain) inih..”. Sahabatku si pengantin baru menjawab tegas, “Iya mbak, dan budaya kita adalah, memberi orang lain (hal) yang kita juga suka!”

Ah, kali ini sahabatku membuatku merasa bangga. ^_^