journal of a learner

one effort to write. one effort to be a lifelong learner

Saturday, December 26, 2009

To Leave and To Be Left Behind

Aku masuki ruangan itu, ruangan yang telah kukenal selama setengah tahun ini. Emptyness is .... so clear. Kekosongan tiba-tiba menyergap, menyesakkan.







Ah, mengapa harus mellow begitu. Aku cuma akan kehilangan teman kerja, bukan sahabat lekat, bukan suami, bukan saudara kandung. Apakah aku takut memegang tanggung jawab suatu unit sementara aku masih sangat baru di sini? Apakah aku merasa kehilangan sandaran saat si bos kecil nanti akan pergi meninggalkan jalan yang baru menapak selama 2 tahun ini? Apakah aku merasa rendah diri karena kemampuanku berbeda dengan kemampuannya yang sudah lebih dikenal orang sehingga ia dijadikan andalan? Atau apakah aku memang telah menganggapnya sahabat? After I try to think further, the only possibility that cross on my mind and I accepted is, I never left before. For all these times, I'm the one who leave. I leave my beloved friends at Balita Bahagia, I leave my colleagues at Bina Mutiara, and I said goodbye to my co-workers at Sakamoto.


It wasn't easy when I left them. Selalu terasa berat. Selalu ada usaha keras untuk memastikan bahwa aku tidak meninggalkan hutang di sana, or any unfinished business, even our story is a never ending stories.
Tapi selalu ada optimisme. Bahwa ada cerita indah untuk mereka setelah kepergianku, bahwa murid-murid akan bisa beradaptasi dengan guru baru, bahwa tempat saya yang baru akan memberi pengalaman belajar baru yang menyenangkan bagiku.







Tapi mengapa ini terasa tak adil? I'm a pure freshmen here, status kepegawaian pun masih kontrak. He just leave me like that. He leave all the promises and visions and idealism, about what we competent and concern on. He was attract me with all those visions. He made me trapped. Or, I made myself trapped. Cause we stand on the same idealism and it's something I cherish a lot. But now he's leaving and I feel like I have to fight alone on that idealism I'm standing on. As a matter of fact, I have to fight for him too, for his footsteps here, his unfinished business.


Maybe, I have to put myself on his side. On the leaving one side. Not the left one. So that I can have more optimism. Well, so long my friend, ku harap di mana pun kau berada, kau akan selalu menjadi manusia yang penuh manfaat. Cheers....

Sunday, December 20, 2009

Bendulu

Tegak lurus pada Sang dahsyat
Diagonal pada Sang mentari di sudut sejuk pandangan

pantai bendulu anyer, 19 Desember 2009

Hal-hal yang Bisa Membuat Penghuni Bilqis Berteriak, "Asyik!"

Bilqis adalah nama salah satu rumah di kampung Cihideung, nama yang menyimpang karena rumah-rumah lain dinamai sesuai nama istri Rasulullah Muhammad SAW. Bilqis adalah satu-satunya rumah yang seluruh penghuninya adalah gadis. Kalau rumah yang penghuninya para bujang, dinamai Marbela (MARkas BEsar LAjang), tapi sebenarnya penghuni Marbela sebagian besar hanya menyamar sebagai bujang. Tapi itu panjang ceritanya.

Langsung lompat saja.

Hal-hal yang bisa membuat para penghuni Bilqis berteriak, "Asyik!"

Nafa: Gak ada apEl pagi? Asyik! *tidur lagi*

Fathi: Uni punya stok gamis baru lho, ada yang matching sama jilbab pink ku. Asyik!

Nana: Jeruk dari dapur (umum) rasanya asem. Asyik!

Mel: Hari ini gak usah ngajar bimbel, bisa nonton sinetron korea. Asyik!

Winy: Jatah ebi furainya tiga? Asyik!

Lia: Wah, ada kamper. Asyik!

Nasehat tentang Nilai Peristiwa Itu

Di sebidang tanah
yang telah diberi atap
tak berapa depa dari danau penuh mekaran teratai
dikelilingi air suci menyucikan
berdirilah ia

Ia yang tak percaya diri
seorang ulama
yang baru mengeja
harus bicara
di hadapan cendekia
Ia lalu melihat padanya
tak sembarang cendekia
penghulu sarjana dari negeri para nabi

Segala itu, tak reduksi nilai nasehatnya
tak buat hati kami meremehkannya
kami para pengantin
pengantin baru
pengantin lama
bakal pengantin
cobalah simak
Berapakah nilai dari akad nikah?
Bagaimanakah bobot dari ijab kabul pernikahan?
Adalah setara dengan penciptaan langit dan bumi
Adalah senilai dengan penciptaan manusia

Ah, rasanya logis saja
jika ada konsekuensi pada kadar tanggungjawabnya
Dan rasanya logis juga
jika harus sering berkaca
Tapi hei, jangan kau merasa tak apa-apa
jika rasa itu kadang hilang kadang ada

Puisi Bersambung

Mengapa harus ada kernyit pada muka
Saat mata pena bertemu dengan kertas pasangannya
Apakah pada hati ada tak rela
Pada tiap asa yang bertemu pasangannya?

*rasanya akan saya perbarui terus*