journal of a learner

one effort to write. one effort to be a lifelong learner

Saturday, August 21, 2010

Dapatkah?

Dapatkah kita mengucapkan subhanallah (atau dzikir-dzikir yg lain) dengan kita maksudkan dalam hati agar ucapan itu bereksponen? Karena kita sungguh-sungguh ingin mengucapkan itu berulang-ulang tapi sekaligus merasa tak akan sanggup dan rasanya tak akan pernah cukup lidah ini melafazkannya atas hal yang menyebabkan kita mengucapakan lafaz dzikir itu, agar dapat menyepadani hal yang menyebabkan kita mengucap itu.

Contohnya, saat saya memandang keluar pintu kantor saya hari ini. Sungguh pemandangan menakjubkan yang saya dapat. Saya sengaja menyeret meja kecil ke dekat pintu agar dapat melihat ke pemandangan di luar setiap saya mau, setiap jeda mengetik pekerjaan kantor. Dan saat saya duduk di belakang meja, dengan melirik ke arah jam 11 saja saya sudah dapat melihat ke luar. Pemandangan yang saya lihat adalah… ah saya tak dapat menggambarkan keindahannya. Jika saya tulis di sini mungkin hanya sebatas lengkung-lengkung batang bambu yang susul menyusul, beberapa pohon pisang di sisi kanan, beberapa pohon petai yang tinggi dan berdaun kecil-kecil, sedikit nyiur melambai-lambai di sana-sini, tanaman pagar tanpa tali putri, dan sebuah tumbuhan yang saya tidak tahu namanya tapi mengingatkan saya pada Flakers, makhluk dalam acara seri anak-anak “Bing and Bong”. Semuanya bergoyang, melambai, mengangguk, menggeleng, menari, sesuai hembusan angin yang bertiup sepoi-sepoi. Dan semuanya dilatar belakangi laut bagian dari Selat Sunda pembelai Rakata, biru, tenang, memberi garis horizon yang membatasi dirinya dengan langit. Langit memberi biru yang lain. Padanya ada awan-awan yang seakan semua ini ada yang melukisnya dengan penuh dedikasi. Awan itu putih, tapi di banyak sisi ia mengikuti kanvas langitnya memberi gradasi biru yang lain lagi. Dan semua begitu indah karena disirami cahaya yang cerah dari mentari yang hangat.

Oke, seperti yang saya sudah tuliskan, saya tidak mampu menuliskan semua keindahan ini dengan baik. Tidak mampu menggambarkan keindahan yang sangat ini. Tapi saya dapat menuliskan, bahwa semua ini membuat saya ingin mengucapkan ini berkali-kali, berpuluh kali, beratus kali, beribu kali, atau sebanyak apapun hanya agar pantas bagi saya sebagai seorang hamba yang telah begitu beruntung diberi pemandangan ini, untuk menyepadani pemandangan ini. Kata-kata apakah yang pantas saya ucapkan memandang ini semua? Hanya dzikir. Hanya tasbih yang bisa saya lafazkan. Tapi saya tak tahu harus berapa kali. Berapa kali untuk menyepadani ini semua? Kalau pun saya tahu jumlahnya, mungkin saya tak akan pernah sanggup mengucapkan tasbih sejumlah itu. Bisakah kita mengucapkan itu semampu kita, dan dalam hati, sungguh aku ingin kata-kataku itu, tasbihku itu, bereksponen.

Semua di langitMu
Semua dalam lautMu
Setiap hati mendamba cintaMu
Allah Allah hanya Allah…

(Beruntunglah -Opick)

Resep Obat

Baru pertama kali deh kejadian kayak gini. Langsung cerita aja ya. Saya kan diminta ibu saya untuk menebus resep obat untuk kakak saya. Kemarin sore ibu mengantar kakak memeriksakan kesehatan di RS SA, tapi karena tidak pede dengan uang yang dibawa, akhirnya ibu tidak langsung menebus resep yang dibuatkan oleh Pak Dokter dan hari ini meminta saya menebusnya. Saya dan suami pergi ke apotek terdekat dari rumah. Dari enam jenis obat yang tercantum dalam resep, hanya tersedia tiga. Kuputuskan tetap kutebus, daripada tidak sama sekali. Setelah itu kami pun pulang karena belum shalat.

Usai shalat, kami kembali nangkring di atas motor, mencari apotek lain di sekitar rumah. Apotek kedua yang kami datangi terlihat cukup besar dan letaknya cukup strategis. Perkiraanku, mungkin lebih lengkap. Ternyata, setelah resep diterima apoteker dari resepsionis, saya menerima gelengan kepala. Tak ada satu pun dari tiga jenis obat yang belum tertebus tersedia di apotik itu. Kami tidak punya stoknya, kata mereka. Kami pun menuju RS MA yang terletak sekitar seratus meter dari apotik tersebut. Rumah sakit tentu lebih lengkap, pikirku.

Saya memasuki lobby rumah sakit dan bertanya pada resepsionis di mana bisa menebus resep. Meski sudah beberapa kali menggunakan layanan rumah sakit ini, saya belum pernah menebus resep yang tidak dikeluarkan oleh mereka di sini. Resepsionis menunjukkan saya bagian farmasi yang biasa. Saya pun memberikan resep saya di loket farmasi. Saya jelaskan beberapa obat sudah ditebus dan obat-obat yang mana saja yang belum ditebus. Saya sebenarnya sudah diberi tau bahwa petugas apotek pasti mengerti dengan simbol-simbol yang ditulis apoteker di apotek pertama, namun saya mencoba memastikan saja. Sebelum saya selesai menjelaskan, petugas loket sudah mengangguk-angguk dan mengiyakan. Saya anggap dia memang sudah mengerti.
”Silahkan tunggu,” katanya.
Saya pun menunggu. Di deretan kursi di ruang tunggu. Suamiku menghampiri selesai memakirkan motornya.
Agak lama.
...............
“Tuan Andu!” resep atas nama kakakku diumumkan. Saya pun bergegas.
”Ya.”
Sampai di loket, kulihat yang melayaniku berbeda dengan yang tadi menerima resep. Yang ini terlihat lebih tua dan lebih tegas. Perhatikan jawabannya.
”Mbak, maaf, kami tidak bisa membaca resep ini.”
Dikatakan dengan nada profesional. Terdengar di telingaku seperti mustahil.
”Bagaimana Mbak? Tidak bisa dibaca?” kuperhalus pertanyaanku, tapi hasrat tertawa hampir tak tertahan.
”Iya mbak. Maaf kami tidak bisa membaca tulisan di resep ini. Saran saya ditebus di rumah sakit yang mengeluarkannya,” si petugas masih dengan gaya (sok) profesional.
”O begitu, baik mbak. Kami hanya mencoba cari yang terdekat,” saya mengangguk (sok) paham sambil nyengir.
Saya mengucapkan terima kasih dan pamit.

Sampai di samping suami saya di kursi ruang tunggu, saya meringis sambil pasang tampang percaya-gak-sih. Kami pun memutuskan untuk ke RS SA yang mengeluarkan resep tersebut. Di atas motor, suami saya bilang,
”Baru pertama kali Mas ngeliat kasus kayak gini. Apoteker gak bisa baca resep!”
Yah, ini juga pertama kalinya buat saya. Yang mengherankan, dua apotek sebelumnya tidak mendapat kesulitan macam itu. Ada yang tau kenapa? Ada yang percaya kalau apa yang dikatakan apoteker RS MA itu jujur?

Kecurigaan saya adalah, sebenarnya RS MA tidak memiliki obat-obatan tersebut, sama dengan apotek-apotek sebelumnya, namun malu mengakuinya sehingga mencari alasan seperti itu. Dari mana dapat alasan itu? Mungkin mencoba memanfaatkan pendapat umum di masyarakat bahwa tulisan dokter sulit dibaca. Tapi ya ampun, ini keterlaluan. Dua apotek sebelumnya tidak mengeluhkan hal itu. Saya lihat huruf-hurufnya juga tidak terlalu ”cakar ayam”, hanya saja saya tidak mengerti simbol dan istilah medis di dalamnya. RS MA mungkin kehilangan pasiennya saat RS SA-yang lebih besar, lebih terlihat bersih, dan lebih gencar promosinya-dibuka. Tapi saya masih termasuk pasiennya yang cukup setia. Dan rasanya cara seperti ini menggelikan sekali bagi saya. Apa salahnya mengatakan hal yang sebenarnya? Apakah gengsi lebih penting daripada tujuan semula, meningkatkan kualitas kesehatan manusia? Ataukah saya salah dengan menebus resep obat dari RS yang satu di RS yang lain?

Sampai di RS SA, saya julurkan resep ke petugas penerima dan mengatakan bahwa sudah ada obat yang ditebus. Tidak butuh sampai tiga detik, penerima resep pun menjawab,
”Oke, jadi tinggal Pro******, Sa****, dan Za**** aja ya? Baik, silahkan tunggu sebentar ya Bu, ini nomor antriannya.”
Ha! Any other explanation?